Jumat, 25 Agustus 2023

SEDIKIT CERITA DARI BEDAH BUKU DI BAGI KOPI

Rabu, 16 Agustus 2023, bedah buku Gala & Elora kembali digelar. Kali ini tawaran buat menggelar acara tersebut datang dari Indra, manajer PS. Beberapa hari sebelum menggelar bedah buku tersebut Indra cerita kalau dia bertemu dengan orang marketing Bagi Kopi. Dia cerita kalau Bagi Kopi tertarik membuat acara untuk PS. Namun menurut Indra (yang juga diamini Ryan dari Bagi Kopi), rasanya perlu ada rangkaian acara kecil terlebih dahulu, sebelum akhirnya PS manggung di Bagi Kopi, dalam runutan agenda promosi single baru mereka, “Fleeting Away”.

Saya mengiyakan tawaran Indra untuk menggelar acara bedah buku di Bagi Kopi, Kiara Artha, dengan satu catatan, acara ini harus melibatkan Irfan ‘Popish’ sebagai moderatornya. Karena sekarang Irfan punya keterbatasan waktu dan harus segera bertolak melanjutkan sekolah di Taiwan, maka acara harus digelar sebelum tanggal 19 Agustus. Indra dan Ryan mengiyakan, hingga akhirnya disepakati acara digelar pada tanggal 16 Agustus 2023.

Hari itu pun tiba. Sekitar pukul lima sore saya sudah berada di Kiara Artha, tengah bersiap untuk menjadi pembicara untuk bedah buku saya. Tidak lama Irfan datang dengan sapaan hangatnya yang khas. Setidaknya sejak terakhir kali saya bertemu dia di launching bukunya, Bandung Pop Darlings.

Sedikit cerita soal Irfan. Secara personal sebenarnya saya tidak terlalu kenal dekat dengan Irfan. Hanya saja kami sama-sama berangkat dari media yang sama ketika itu. Bisa dibilang kami memulai ‘karir’ menulis musik pada tahun yang berdekatan, meski secara pencapaian saya pikir Irfan jauh di atas saya. Hal itu menjadi masuk akal, mengingat dedikasi dan kecakapan Irfan dalam menulis memang jempolan, dan saya angkat topi untuk itu. Bukan tanpa alasan juga kenapa akhirnya saya meminta Irfan untuk menulis kata pengantar di buku Gala & Elora. Karena dengan segala kerendahan hati, saya memang penikmat tulisannya.

Seiring waktu saya menjalani pekerjaan sebagai penulis, ada beberapa teman yang saya kagumi betul tulisannya, dari mulai Bobbie Rendra, Franco Londah, hingga Irfan itu sendiri. Semuanya punya gaya penulisan yang berbeda, dengan Bobbie yang piawai mengejawantahkan kata, Franco yang selalu berhasil membuat saya larut dalam tulisannya, hingga Irfan yang punya keluasan wawasan yang dituturkan dalam pemilihan diksi yang enak dibaca.

Dalam obrolan dengan Irfan hari itu, satu hal yang saya ingat betul adalah pembahasan kami tentang perbedaan orang yang bekerja sebagai penulis dan orang yang memilih menjadi penulis. Menurut Irfan banyak orang yang bekerja sebagai penulis (atau dalam konteks ini jurnalis) hanya memenuhi kewajibannya saja untuk menulis sesuai porsinya di kantor. Akibatnya, kualitas tulisannya juga so so karena tidak dihidupi dengan passion yang menyala dan hanya sekedar menulis sebagai tuntutan pekerjaan. Beda dengan seseorang yang memilih menjadi penulis. Meski hanya memilih menulis untuk sebuah caption di instagram, namun ketika dibubuhi dengan kecintaan yang besar dan passion yang menyala maka tulisannya terasa hidup. Dan buat saya, Bobbie, Franco, dan Irfan itu penulis, karena mereka menghidupi tulisannya dengan cinta yang besar.

Kembali ke buku Gala & Elora. Buku ini juga ditulis karena kecintaan saya pada tulis menulis dan Pure Saturday. Ketika itu digabungkan, saya lalu mengerucutkan hal tersebut pada sesuatu yang personal, di mana hal itu kemudian menjadi benang merah cerita di buku ini. Premisnya sederhana sebenarnya, buku ini menjadi refleksi saya terhadap peran ayah saya, dan peran saya ketika saya menjadi ayah untuk anak saya. Lalu apa hubungannya dengan 13 lagu Pure Saturday di buku ini?

Saya pikir pada outputnya sebuah lagu bisa dimaknai beragam dan subjektif oleh pendengarnya. Buku ini menuliskan tentang interpretasi saya terhadap lagu-lagu Pure Saturday yang berdasar pada refleksi personal yang saya rasakan saat menulis buku ini.

Buku ini ditulis ketika saya telah menjalani peran sebagai seorang ayah, dan oleh karena itu pada outputnya pun banyak yang membahas soal keresahan saya di fase itu. Rasanya saya tidak punya keresahan yang cukup ‘mengganggu’ selain soal itu. Keresahan soal asmara misalnya. Keresahan soal ini sudah sangat tidak relevan untuk saya. Masa-masa galau sudah jauh terlewati dan ketika mengingatnya hari ini hanya menjadi bahan tertawaan saja buat saya.

Di buku ini dituliskan tentang Gala yang kehilangan sosok ayahnya. Sosok yang memberi ‘kehidupan’ bagi Gala. Pak Badri, ayah Gala merupakan orang yang piawai membangun ‘dunia’ yang ideal untuk Gala, sehingga Gala kerap melarikan diri ke dunia yang dibuat oleh ayahnya. Dunia Gala adalah ayahnya. Maka ketika ayahnya berpulang, dunia Gala pun ikutan hancur berantakan. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah Gala bisa hidup dengan dunianya sendiri selepas ayahnya berpulang? itu yang akan pembaca dapatkan di buku ini. Singkatnya, buku ini mengamini apa yang Pure Saturday tulis di salah satu judul albumnya, “Time For A Change Time To Move On”.

Soal ini saya ada cerita menarik. Sehari sebelum acara digelar saya bertemu dengan Ryan Bagi Kopi. Ternyata Ryan menjadi salah satu pembeli buku saya, dan ketika ngobrol dia langsung ‘ngeuh’ kalau buku ini merupakan refleksi saya terhadap album “Time For A Change Time To Move On”. Itu menyenangkan untuk saya. Ada orang yang membeli buku saya saja sudah menyenangkan untuk saya, apalagi ditambah kalau orang itu menangkap apa yang saya maksud dalam buku ini.

Menggaris bawahi tentang apa apa saja yang saya maksud dan menjadi latar belakang penulisan buku ini, hal tersebut kemudian menjadi bahan diskusi malam itu. Namun diantara semua obrolan, ada dua pertanyaan yang masih saya ingat malam itu, yakni tentang penggunaan kata gua, elu/lo, sebagai kata ganti/subjek saya/aku, dan juga pemilihan mercusuar di buku tersebut.

Pertanyaan soal gua elu datang dari orang yang pake kaos Misfits ini

Saya selayaknya orang sunda yang lain, sepertinya sungkan atau tidak terbiasa dengan penggunaan kata gua/gue, lo/elu atau sesuatu yang ‘Jakarta Centries’. Bukan anti terhadap Jakarta, hanya saja itu bukan sesuatu yang natural untuk saya sebagai orang sunda, yang hampir 80% menggunakan bahasa sunda untuk berkomunikasi. Namun kemudian muncul pertanyaan, kenapa saya menggunakan kata gua elu/lo di buku Gala & Elora?

Alasan pertama adalah karena saya ingin menulis sesuatu yang ‘ngepop’, dan buat saya frasa gua elu/lo itu menjadi lumrah ditemukan di budaya pop yang ada di Indonesia. Ditambah, cerita di buku ini ‘mengharuskan’ saya menulis latar di Jakarta. Untuk orang Jakarta penggunaan kata ganti saya menjadi gua/gue adalah hal yang natural layaknya urang dan aing di Bandung.

Kenapa Gala & Elora berlatar di Jakarta? Karena saya pikir, sampai hari ini Jakarta masih jadi rujukan bagi semua orang yang ingin mewujudkan mimpinya. Gala bermimpi ingin jadi musisi terkenal, dan Elora bermimpi menjadi penulis/jurnalis yang punya nama. Keduanya kemudian merajut mimpinya itu di Jakarta. Hal itu kemudian menjadi sangat kontras dengan keinginan Gala yang ingin kembali ke dunia utopis yang dibuat ayahnya. Gambaran Jakarta yang carut marut dan dipenuhi dengan kompleksitas yang ada menjadi berbanding terbalik dengan kedamaian yang ingin dirasakan Gala. Hal-hal kontras itu lah yang juga menjadi pertimbangan saya, kenapa Gala & Elora ini menjadi ‘Jakarta Centries’.

Dalam obrolan malam itu, sebelum diskusi dimulai Irfan berseloroh kalau dia rasanya tidak akan menulis buku fiksi karena menurutnya cukup tricky, dibanding dengan buku non fiksi. Salah satunya tentang penggunakan kata gua/gue elu/lo di atas yang riskan terdengar cringe atau terbaca seperti novel-novel teenlit, dan sebaliknya ketika menggunakan kata aku kamu takut terdengar terlalu puitis yang berpotensi cringe juga hahaha.

Hal ini juga menjadi pertimbangan buat saya, karena bagaimana pun saya membawa nama Pure Saturday di buku ini. Jangan sampai  itu menjadi blunder bagi si PS maupun saya sebagai penulis. Tapi, yang bisa janjikan di buku ini adalah meski ada frasa yang ngepop alias anak muda banget, namun cerita di buku ini jauh dari typical cerita di novel teenlit, karena seperti yang saya tulis di atas, cerita-cerita remaja sudah tidak relevan untuk saya dan tidak lagi menjadi keresahan saya. Saya pikir karya yang baik adalah karya yang lahir dari sebuah keresahan, dan saat menulis ini saya tidak memiliki keresahan yang dirasakan anak remaja. Jadi secara cerita, buku ini akan jauh dari hal itu.

Mang Ade 'Muir'. Sosok dibalik lirik-lirik lagu Pure Saturday

Lalu, pertanyaan berikutnya tentang kenapa saya memasukan mercusuar di buku Gala & Elora. “Kenapa harus mercusuar? kenapa tidak lampu motor?”, ujar Haris yang bertanya iseng malam itu.

Nah, ini Haris
Ini Haris, saya, dan Irfan. Gak tahu lagi ngetawain apa

Dalam buku dituliskan jika profesi ayah Gala adalah seorang penjaga mercusuar. Selain karena ada korelasi kuat antara mercusuar dan PS di lagu Lighthouse, analogi mercusuar ini juga saya pikir sesuai dengan penggambaran cahaya yang jadi inti cerita di buku ini. Secara harfiah dan filosofis Pak Badri bertugas memberi cahaya untuk lautan yang gelap, dan memberi cahaya untuk hidup anaknya.

Gambaran cahaya disini kemudian menjadi sebuah filosofi hidup yang dipegang Pak Badri lewat gambaran mercusuar.  Meski dihantam ombak berulang kali mercusuar tetap menyinari lautan yang gelap. Hal itulah yang kemudian dipegang Pak Badri. Ditengah kegelapan malam rasanya tidak ada satu orang pun yang akan mengenali penjaga mercusuar. Tapi meski begitu Pak Badri tetap melakukan tugasnya, meski sosoknya dilupakan dan diasingkan dalam kesepian yang mengganggu di menara suar yang sepi. Hidup juga rasanya harus seperti itu. Tida peduli apakah kita dikenali sebagai pahlawan atau tidak, tapi esensi dari hidup harusnya memang berguna bagi banyak orang.

Gala merasa ayahnya menyinari hidup Gala, sampai akhirnya cahaya dalam dirinya perlahan meredup karena kepergian ayahnya. Disinilah peran Elora dimulai, dia ‘menyalakan’ kembali lampu suar untuk menyinari hidup Gala, karena sesungguhnya hidup harus terus berjalan sampai tiba waktunya selesai dan kembali pada pemilik hidup yang sesungguhnya. Sudah waktunya berubah dan bergerak, “Time For A Change Time To Move On”! Sebenarnya itu sih yang ingin saya sampaikan di buku Gala & Elora. 

Terlepas dari itu, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk siapapun yang menyempatkan hadir malam itu di Bagi Kopi, Kiara Artha. Irfan, Kang Indra, Kang Ryan, Mang Udjie, Mas Yanto dari Portee, Maternal, dan tentunya Mang Ade, juga untuk semua yang menyempatkan menyimak update buku ini. Sampai bertemu di bincang buku Gala & Elora lainnya, di waktu dan tempat berbeda.

Yang selalu hadir dan support ❤

Foto foto oleh @bersamafahmi15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar