Jumat, 21 Februari 2025

SEKALI LAGI TENTANG SUKATANI

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menghadiri acara Forging Visions yang diinisiasi oleh Mendadak Kolektor dan tujuh orang ilustrator yang menamakan kolektifnya Forging Visions. Disana, selain pameran, ada juga pertunjukan musik dan diskusi seputaran industri kreatif, khususnya artwork dalam musik. Dalam sesi diskusi tersebut hadir pula Pak Egi Fauzi, seorang konsultan branding yang juga membidani lahirnya Komunitas Musisi Mengaji atau Komuji. Ada satu ucapannya yang sampai hari ini masih melekat di kepala saya ketika dia menyoroti hubungan band/musisi dengan penggemarnya. Menurutnya, sebenarnya bukan band yang butuh fans, tapi fans yang butuh band sebagai entitas yang bisa mewakili diri si penggemar.

Menghubungkan ucapan Pak Egi di atas dengan yang lagi riuh beberapa hari ini tentang Sukatani, rasanya masuk akal, bahwa sebenarnya kita (fans) yang membutuhkan Sukatani (band). Sebagai entitas yang kerap menyuarakan keresahannya, kita kemudian terhubung dan merasa apa yang mereka suarakan lewat lagunya mewakili keresahan kita. Kita kemudian merasa jika suara mereka adalah perpanjangan suara kita, dan ketika suara mereka dibungkam kita kemudian bereaksi dan menolak, karena rasanya seperti suara kita yang dibungkam. Kita butuh band band seperti Sukatani, Efek Rumah Kaca, Seringai, dan band-band lainnya yang kerap menyuarakan keresahannya ke permukaan sebagai perpanjangan suara kita.

Menariknya, pelarangan lagu "Bayar Bayar Bayar" dari Sukatani direspon pula oleh musisi-musisi lain, seperti salah satunya, Bottlesmoker. Duo asal Bandung ini me-remix lagu tersebut dengan kekhasan musiknya. Hal tersebut seakan menjadi dukungan mereka terhadap Sukatani. Beberapa kalangan juga menyerukan untuk memutar lagu tersebut, di rumah, di jalan, hingga di tengah-tengah demonstran, meski di berbagai platform musik sudah ditarik dari peredaran. Semakin dilarang, semakin kencang diputar!

Saya teringat sebuah wawancara bersama Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca). Ketika itu dia mengatakan, “jika semua lagu lo isinya soal cinta, memangnya hanya itu yang menjadi masalah dalam hidup lo? Padahal ada begitu banyak masalah yang bisa dibuat jadi karya”.  Saya mengamini hal tersebut dan sampai saat ini yakin jika cara terbaik menyampaikan keresahan adalah melalui karya. Mungkin jika negara ini baik-baik saja, lagu lagu seperti “Bayar Bayar Bayar” itu tidak pernah ada, atau mungkin band band seperti Sukatani dan Efek Rumah Kaca tidak pernah terlahir. Rasanya kita tidak bisa berpura-pura jika negara ini baik-baik saja, dan sulit pula bagi kita mengamini apa yang Slank nyanyikan tentang si coklat yang baik hati.

Kita semua merasa capek, kesal, dan marah dengan semua bentuk kesemrawutan yang terjadi, maka ketika mba Twister Angel berteriak “Bayar Bayar Bayar” rasanya seperti jeritan kekesalan kita yang menumpuk, lalu tumpah ruah lewat lengkingan suaranya. Kita capek dipalak negara, dipalak pihak yang berwenang, kita capek bekerja dari pagi sampai sore, lalu dipaksa menyisihkan hasil keringat kita untuk mereka yang ‘punya negara’. Lucunya, kita bahkan antri di kantor pajak untuk merelakan hasil keringat kita dipalak negara. Rasanya wajar jika kemudian kita butuh band band seperti Sukatani untuk bersama-sama meneriakan kemarahan kita. Jadi ketika mereka dibungkam, tentu saja kita marah.

Padahal kebebasan berekspresi menjadi satu satunya kemewahan yang kita punya. Kita bahkan tidak berani bermimpi terlalu muluk untuk punya rumah mewah, mobil mewah, atau barang-barang mahal yang ‘mereka’ punya. Jadi satu-satunya kemewahan kita itu kebebasan berekspresi. Dan jika itu dilarang, maka habis sudah yang kita punya. Lalu apa lagi yang kita punya?

Sedikit intermeso, suatu hari anak saya bilang ke saya kalau pas di udah besar dia mau kerja kaya papa-nya. Pas saya tanya, kenapa kamu mau kaya papa? Soalnya papa keren, ngetiknya cepet, aku pengen jadi penulis juga kaya papa. Saya yakin di antara bapak-bapak coklat itu, obrolan yang sama pernah terlontar dari buah hatinya. Jika saya yang gembel saja bisa membuat bangga anak saya, apalagi dengan Pak Coklat. Dengan seragamnya yang keren, buah hati mereka kemudian ingin menjadi seperti ayahnya. Mereka bangga akan kerjaan ayahnya. Apalagi dengan slogan yang mereka lihat di kantor ayahnya, “Melindungi dan melayani masyarakat”. Lalu apa jadinya jika mereka tahu ayahnya justru melawan dan memerangi masyarakat? Apakah kebanggan itu masih ada?

Pak Coklat, kita bicara dari hati ke hati aja ya pak, sebagai seorang ayah, saya sering mikir, rasanya uang tidak selalu yang anak kita butuhkan, karena di satu sisi, mereka butuh bangga juga siapa ayahnya. Dan apakah semua tindakan yang memerangi masyarakat bisa membuat mereka bangga?

Sukatani bukan untuk diperangi, dan tidak pula ada indikasi mereka memerangi bapak. Mereka hanya menyuarakan keresahan mereka. Tidak jauh beda dengan Ryan D’Masiv yang menyuarakan keresahan akan si pujaan hati yang membunuhnya dengan cintanya. Sama-sama menyuarakan keresahan.

Terakhir, sebelum saya menuju kamar dan membacakan dongeng untuk anak saya, sekali lagi tentang Sukatani, hormat saya untuk semua karya yang terlahir dari kalian. Semoga hal ini tidak membuat kalian berhenti untuk terus menyuarakan keresahan kalian. Big love!

#kamibersamasukatani


Tidak ada komentar:

Posting Komentar