Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menghadiri acara Forging Visions yang diinisiasi oleh Mendadak Kolektor dan tujuh orang ilustrator yang menamakan kolektifnya Forging Visions. Disana, selain pameran, ada juga pertunjukan musik dan diskusi seputaran industri kreatif, khususnya artwork dalam musik. Dalam sesi diskusi tersebut hadir pula Pak Egi Fauzi, seorang konsultan branding yang juga membidani lahirnya Komunitas Musisi Mengaji atau Komuji. Ada satu ucapannya yang sampai hari ini masih melekat di kepala saya ketika dia menyoroti hubungan band/musisi dengan penggemarnya. Menurutnya, sebenarnya bukan band yang butuh fans, tapi fans yang butuh band sebagai entitas yang bisa mewakili diri si penggemar.
Menghubungkan ucapan Pak Egi di
atas dengan yang lagi riuh beberapa hari ini tentang Sukatani, rasanya masuk
akal, bahwa sebenarnya kita (fans) yang membutuhkan Sukatani (band). Sebagai entitas
yang kerap menyuarakan keresahannya, kita kemudian terhubung dan merasa apa
yang mereka suarakan lewat lagunya mewakili keresahan kita. Kita kemudian merasa
jika suara mereka adalah perpanjangan suara kita, dan ketika suara mereka
dibungkam kita kemudian bereaksi dan menolak, karena rasanya seperti suara kita
yang dibungkam. Kita butuh band band seperti Sukatani, Efek Rumah Kaca,
Seringai, dan band-band lainnya yang kerap menyuarakan keresahannya ke
permukaan sebagai perpanjangan suara kita.
Menariknya, pelarangan lagu "Bayar Bayar Bayar" dari Sukatani direspon pula oleh musisi-musisi lain, seperti salah satunya, Bottlesmoker. Duo asal Bandung ini me-remix lagu tersebut dengan kekhasan musiknya. Hal tersebut seakan menjadi dukungan mereka terhadap Sukatani. Beberapa kalangan juga menyerukan untuk memutar lagu tersebut, di rumah, di jalan, hingga di tengah-tengah demonstran, meski di berbagai platform musik sudah ditarik dari peredaran. Semakin dilarang, semakin kencang diputar!
Saya teringat sebuah wawancara
bersama Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca). Ketika itu dia mengatakan, “jika semua
lagu lo isinya soal cinta, memangnya hanya itu yang menjadi masalah dalam hidup
lo? Padahal ada begitu banyak masalah yang bisa dibuat jadi karya”. Saya mengamini hal tersebut dan sampai saat
ini yakin jika cara terbaik menyampaikan keresahan adalah melalui karya. Mungkin
jika negara ini baik-baik saja, lagu lagu seperti “Bayar Bayar Bayar” itu tidak
pernah ada, atau mungkin band band seperti Sukatani dan Efek Rumah Kaca tidak
pernah terlahir. Rasanya kita tidak bisa berpura-pura jika negara ini baik-baik
saja, dan sulit pula bagi kita mengamini apa yang Slank nyanyikan tentang si
coklat yang baik hati.
Kita semua merasa capek, kesal, dan marah dengan semua bentuk kesemrawutan yang terjadi, maka ketika mba Twister Angel berteriak “Bayar Bayar Bayar” rasanya seperti jeritan kekesalan kita yang menumpuk, lalu tumpah ruah lewat lengkingan suaranya. Kita capek dipalak negara, dipalak pihak yang berwenang, kita capek bekerja dari pagi sampai sore, lalu dipaksa menyisihkan hasil keringat kita untuk mereka yang ‘punya negara’. Lucunya, kita bahkan antri di kantor pajak untuk merelakan hasil keringat kita dipalak negara. Rasanya wajar jika kemudian kita butuh band band seperti Sukatani untuk bersama-sama meneriakan kemarahan kita. Jadi ketika mereka dibungkam, tentu saja kita marah.
Padahal kebebasan berekspresi
menjadi satu satunya kemewahan yang kita punya. Kita bahkan tidak berani
bermimpi terlalu muluk untuk punya rumah mewah, mobil mewah, atau barang-barang
mahal yang ‘mereka’ punya. Jadi satu-satunya kemewahan kita itu kebebasan
berekspresi. Dan jika itu dilarang, maka habis sudah yang kita punya. Lalu apa
lagi yang kita punya?
Sedikit intermeso, suatu hari anak
saya bilang ke saya kalau pas di udah besar dia mau kerja kaya papa-nya. Pas saya
tanya, kenapa kamu mau kaya papa? Soalnya papa keren, ngetiknya cepet, aku
pengen jadi penulis juga kaya papa. Saya yakin di antara bapak-bapak coklat
itu, obrolan yang sama pernah terlontar dari buah hatinya. Jika saya yang
gembel saja bisa membuat bangga anak saya, apalagi dengan Pak Coklat. Dengan seragamnya
yang keren, buah hati mereka kemudian ingin menjadi seperti ayahnya. Mereka bangga
akan kerjaan ayahnya. Apalagi dengan slogan yang mereka lihat di kantor
ayahnya, “Melindungi dan melayani masyarakat”. Lalu apa jadinya jika mereka tahu ayahnya justru melawan dan memerangi masyarakat? Apakah kebanggan itu
masih ada?
Pak Coklat, kita bicara dari hati
ke hati aja ya pak, sebagai seorang ayah, saya sering mikir, rasanya uang tidak
selalu yang anak kita butuhkan, karena di satu sisi, mereka butuh bangga juga siapa
ayahnya. Dan apakah semua tindakan yang memerangi masyarakat bisa membuat
mereka bangga?
Sukatani bukan untuk diperangi, dan tidak pula ada indikasi mereka memerangi bapak. Mereka hanya menyuarakan keresahan mereka. Tidak jauh beda dengan Ryan D’Masiv yang menyuarakan keresahan akan si pujaan hati yang membunuhnya dengan cintanya. Sama-sama menyuarakan keresahan.
Terakhir, sebelum saya menuju
kamar dan membacakan dongeng untuk anak saya, sekali lagi tentang Sukatani,
hormat saya untuk semua karya yang terlahir dari kalian. Semoga hal ini tidak
membuat kalian berhenti untuk terus menyuarakan keresahan kalian. Big love!
#kamibersamasukatani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar