Selasa, 10 Februari 2015

SEMIOTIKA MUSIK DI PESTA RILIS SINGLE DE TOHTOR “BUTTERFLY MANDALA”



Sabtu 7 Februari 2015, di Gedung Kesenian Dewi Asri kampus ISBI bandung (atau dulunya bernama STSI), menggelar pesta rilis single De Tohtor “Butterfly Mandala”. Sebuah single yang berdurasi lebih kurang 25 menit ini dihadirkan dengan aransemen dan komposisi musik yang istimewa. Apalagi dengan masuknya instrumen perkusi dan seruling tradisional, kemudian pedal steel yang biasa dimainkan pada musik blues grass, hawaiian, menjadikan alunan musik “Butterfly Mandala” terdengar progresif dan kontemplatif. Oleh karena itu untuk menguatkan visual dari aransemen musik yang digarap dengan baik tadi, suguhan pagelaran pesta rilis single ini tidak boleh biasa saja. Menimbulkan rasa penasaran dan berbagai pertanyaan tentang konsernya akan berjalan seperti apa dan bagaimana.

Menariknya, untuk menguatkan tampilan visual dari pagelaran ini, pihak panitia memberikan saya sebuah corong (atau teropong) yang dibuat sedemikian rupa dengan penambahan cermin yang dibentuk segitiga didalamnya, sehingga menimbulkan efek gambar yang menyerupai mozaik dari hasil pantulan bayangan di tiap sisi cermin yang dipasang.

Sekitar pukul delapan malam pintu GK Dewi Asri telah dibuka, menandakan konser rilis single “Butterfly Mandala” akan berlangsung. Penonton disambut dengan wangi-wangian dupa yang menyebar ke seluruh ruangan. Suasana gedung gelap, sampai akhirnya terlihat beberapa orang membawa lilin menyambut dengan ‘humming’, dan sedikit pembacaan (atau katakanlah berorasi) tentang sinopsis dari “Butterfly Mandala” itu sendiri.

Selesai dengan sambutan tadi, kemudian penonton disuguhi sebuah senandung pujian-pujian (atau mungkin bisa dibilang mantra) Saiwa (Shiwa dalam bahasa sunda). Menarik, baik itu dilihat dari segi estetika maupun esensinya. Selain di dalam lagu “Butterfly Mandala” terdapat lirik yang terdiri tiga bahasa, yakni menggunakan bahasa Inggris yang dibalut dengan glossarium bahasa Sunda dan India, secara estetika lagu ini bisa memberikan keindahan yang memberi gambaran tentang nilai-nilai yang berisi mitos dan paham metode-metode “ageman” selama ini. Setidaknya untuk awam seperti saya, sederhananya pujian-pujian tadi secara konteks spiritual berhasil membuka pertunjukan malam itu jadi terlihat ada sentuhan mistis didalamnya.

Ruangan kembali gelap. Tapi tak lama, karena beberapa saat kemudian terdengar bunyi pedal steel gitar yang menandakan intro lagu “Butterfly Mandala” telah dimulai. Memadukan blues grass dan sedikit sentuhan etnik musik india didalamnya, apalagi diperkuat dengan bebunyian perkusi/tabla di lagu itu. Berbarengan dengan intro lagu, pertunjukan dilengkapi dengan aksi teatrikal dan tari-tarian disudut kiri dan kanan panggung. Total melibatkan 33 penampil (termasuk personil De Tohtor) yang meliputi ; pemain musik, penari, dan pemain teater.

Ditengah pertunjukan, teropong yang diberikan panitia di awal acara tadi mulai memerankan perannya dengan baik. Dengan permainan tata cahaya dan perpaduan warna-warni yang dibalut asap dari dupa, keindahan dari komposisi itu semakin kuat jika dilihat dari lubang teropong tadi. Perpaduan warna dan musik yang disajikan tertangkap oleh benda itu menjadi sebuah mozaik nan abstrak, sekaligus memberikan gambaran dari momen Psychedelic yang dijadikan judul pada pertunjukan malam itu. Setidaknya untuk saya, perihal kontruksi makna yang terkandung dalam kata Psychedelic itu adalah tentang sesuatu yang abstrak, benturan dari semiotik itu sendiri, dimana hitam tidak berarti hitam atau gelap tidak berarti gelap. Ada di dalam batas imajinasi antara garis warna dan suara.

Sampai ketika lagu akan menuju klimaksnya, komposisi yang terbangun antara musik, tata cahaya, dan adegan teatrikal semakin dinamis mengikuti tempo lagu dan alur dari pertunjukan malam itu. Terlihat beberapa orang berlarian mengitari panggung untuk sebuah adegan teatrikal yang disesuaikan dengan mood lagu yang dimainkan. Semakin cepat dengan bunyi-bunyian dari distorsi gitar, nyanyian yang semakin keras disenandungkan dengan penjiwaan yang dalam, serta hentakan drum yang mengawalnya sampai coda lagu, menandakan pertunjukan harus segera disudahi.

Lalu dengan berakhirnya coda lagu “Butterfly Mandala” tersebut, maka berakhir pula sebuah pertunjukan yang bukan hanya memanjakan dari segi suara, namun juga secara visual bisa memberikan gambaran dari momen Psychedelic itu sendiri, sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies. Bagaimana melihat budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna lewat pertunjukan malam itu. Ketika De Tohtor bukan hanya sedang memainkan musik dalam pertunjukannya, tapi mereka adalah bagian dari suara, ketukan, dan musik itu sendiri. Untuk hal ini, musik adalah simbol, dan lagu “Butterfly Mandala” adalah makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya pertunjukan malam itu merupakan semiotik dari pencapaian artistik bermusik dari De Tohtor, untuk kemudian menyelaraskannya dengan ragam kesenian lainnya seperti tarian dan teater. Sampai kemudian sekumpulan unsur kesenian tadi bisa merepresentasikan ide, keadaan, situasi, dan perasaan si penampil ke penonton yang hadir.

Foto : Giguy


2 komentar:

  1. Wahh, seru bangetkayaknya gan. Makasih nih sudah mau di sahre pengalamannya ^^

    BalasHapus