Efek Rumah Kaca adalah antitesis. Jika kalimat perlawanan terlalu dini disematkan pada ERK (kependekan dari Efek Rumah kaca), maka boleh kiranya jika ERK digambarkan sebagai antitesis dari hal-hal populer. Keberadaannya menawarkan pop yang punya “isian” lebih. Menelanjangi pop yang notabene-nya adalah musik populer dengan isian yang tidak/kurang populer, namun uniknya malah disukai. Bagaimana ketika ERK mematahkan eksploitasi rasa tentang dua insan yang jatuh cinta lewat lagu Jatuh Cinta Itu Biasa Saja. Atau ketika ERK mematahkan prostitusi karya yang menghamba pada kata cinta lewat lagu Cinta Melulu, yang diteruskan lewat sebuah trilogi lagu Biru (Pasar Bisa Diciptakan, Cipta Bisa Dipasarkan). ERK seolah menegaskan keberpihakannya pada hal-hal yang jarang tersentuh. Mereka memainkan sesuatu (dalam hal ini musik) yang populer dengan cara yang tidak populer.
Hal ini tersirat dalam konser mereka pada tanggal 18 September 2015 di Gedung Balai sartika (Bikasoga), Bandung, yang bertajuk “Pasar Bisa Dikonserkan”. Hampir semua simbol-simbol hal populer atau let say “pasaran” mereka tampilkan pada konser mereka. Dari mulai pemilihan gambar batu akik pada poster konser mereka, lalu beberapa cuplikan gambar-gambar populer (seperti apa yang biasa kita lihat di sosial media) sebagai latar panggungnya, sampai ada (ceritanya) penonton bayaran seperti di acara TV pagi-pagi diatas panggung (lengkap dengan tari-tariannya yang khas). Namun kemudian itu menjadi paradoks karena berisikan konten yang justru berlawanan dengan simbol-simbol kepopuleran itu sendiri. Dan itu dirangkum dalam satu bingkai sajian konser mereka malam itu.
Foto diambil dari twitter @dheafeb
Ada satir yang nyaris tak terbaca jika saja kita tidak jeli pada apa yang mereka sajikan lewat simbol-simbol hal populer tadi, melalui visual art, backdrop, maupun pernak-pernik kecil sebagai ornamen dalam konser mereka yang bertajuk “Pasar Bisa Dikonserkan”. Ada semacam sindiran halus tentang pasar dan bagaimana orang-orang memaknai pasar, lalu memperlakukannya jadi sebuah komoditas. ERK seperi ingin mengatakan jika simbol-simbol pasaran itu menggelikan, dan mengikuti arus itu membosankan.
Konser dibagi menjadi tiga sesi : Pertama ERK tampil dengan gaya casual mereka, kedua dengan pakaian tidur, ketiga dengan kostum badut. Dengan gaya busana ditiga sesi itu saja, lagi-lagi ERK menampilkan sebuah paradoks dalam kalimat “pasar bisa dikonserkan”, yang bukan tanpa sebab sampai pada akhirnya mereka ambil untuk dijadikan judul konser. Lewat kostum badut misalnya. ERK seolah memberikan sindiran halus pada para pelaku dunia hiburan (dalam hal ini dunia hiburan/pertunjukan musik), yang hanya menjadi penggembira saja, tanpa punya perhatian lebih terhadap konten akan karya-nya.
Menyaksikan Cholil berpakaian badut mengingatkan kita akan video klip Pandai Besi dilagu Laki-Laki Pemalu, ketika Cholil berperan sebagai balerina. Ada semacam kelucuan yang disaat bersamaan bercampur rasa segan dengan pembawaan dia yang serius. Hal ini tidak mungkin jika tidak memancing kecurigaan jika ada hal yang tersirat dari “katakanlah” perannya yang seolah menertawakan diri sendiri itu.
Selain gaya penampilan para personil ERK yang menarik, konser ini juga memberikan sajian yang sayang untuk dilewatkan. Dari mulai kehadiran para figuran diatas panggung, yang mencoba menerjemahkan isi lagu lewat beberapa adegan teatrikal mereka, sampai kolaborasi ERK dengan beberapa musisi tamu, yang cukup memberi warna tersendiri pada konser malam itu. Para musisi tamu itu antara lain; Bin Idris, Tetangga pak Gesang, Hotma "meng" Roni Simamora, Mondo Gascaro, dan The Adams. Mereka hadir dengan kekhasannya masing-masing. Seolah menegaskan jika para musisi-musisi itu punya warna dan “pasar” mereka sendiri. Kekhasan mereka itu dinilai cukup kuat, dan ini terbukti dilagu-lagu ERK dengan output yang berbeda dari apa yang biasa ERK mainkan.
Credit lebih untuk The Adams ketika mereka bisa membawa suasana konser menjadi “milik” mereka, dalam waktu beberapa menit mencuri perhatian penonton dari sang bintang utama ERK. Beberapa jokes mereka dari mulai tone musik The Adams yang dimasukan kedalam musik ERK, sampai sindiran The Adams tentang ERK yang "mencuri" pattern The Adams pada lagu Konservatif, yang diaplikasikan ERK kedalam lagu Cinta Melulu, cukup membuat penonton saling melemparkan senyum, ditengah ke-kakuan Cholil sang fontman ERK yang memang tidak banyak bicara itu.
Foto : Hani Fauzia Ramadhani
Konser ini juga semakin “megah” dengan tambahan string section pada beberapa lagu ERK yang disajikan dikonser malam itu. Dua diantaranya adalah lagu Di Udara dan Desember, yang diaransemen ulang dalam bentuk sajian mini orkestra. Adalah tidak mungkin jika saja penonton yang hadir malam itu tidak merasa “merinding” dengan aransemen string section tadi, yang bersahutan dengan koor masal dari banyak penonton yang bernyanyi bersama. Bahkan Cholil sang vokalis terlihat berkaca-kaca ketika bernyanyi, ditengah riuh suara penonton yang hampir menimpa suara Cholil diatas panggung.
Selain itu kejutan lainnya adalah kedatangan Adrian (bassis, back vocal, salah satu pencipta lagu-lagu ERK) yang hadir diatas panggung. Poppie (additional bass) yang menggantikan posisi Adrian pada konser malam itu memberikan penghormatannya kepada dia. Priceless. Melihat dua orang musisi/bassis dengan talenta luar biasa, yang tidak berlebihan jika kiranya dua orang itu diberi gelar sebagai salah dua musisi/bassis terbaik di negeri ini. Apalagi keduanya memiliki karakter dan pembawaan yang menyenangkan. Terlebih cara mereka memainkan bass yang nge-soul itu.
Setelah absen cukup lama dalam beberapa panggung ERK, sulit untuk tidak menjadi emosionil ketika menyaksikan Adrian ada diatas panggung, ketika dia memerankan perannya menyebutkan nama-nama aktivis yang hilang pada tragedi Mei 98. Atau ketika Adrian memberikan suara latar pada lagu Sebelah Mata. Lagu Sebelah Mata itu sendiri seperti sebuah penggambaran pasar yang bisa diciptakan ketika mengejawantahkan gelap terang menjadi sebuah diksi bentuk ruang, dalam rangka menawarkan hal yang bisa dijual. Jika saja gelap itu tidak ada, maka yang ada hanya terang yang kurang cahaya. Jika saja terang itu tidak ada, maka yang ada hanya gelap yang kelebihan cahaya. Jika diksi bentuk ruang adalah ilusi, maka pasar adalah hasil rekaan semata, yang isinya bisa menjual apa saja, tergantung intuisi yang menghendakinya. Lepas dari itu toh ERK hanya sekumpulan orang yang menganggap jika hidup itu pendek dan seni itu panjang.
Foto : Asra "Cantsaynotohope"
Jadi apa yang sesunggunya dijual oleh ERK untuk dipasarkan? Jawabannya adalah intuisi. Intuisi mereka yang berkata dan meyakinkan diri mereka sendiri, jika ada hal kecil yang akan dan bisa sampai pada tiap-tiap hati kecil orang yang berbisik, sampai pada akhirnya mereka mengapresiasi itu. Dari sanalah terjalin chemistry yang kuat antara intuisi ERK lewat lagunya dengan pendengar karya nya. Bahwa ada getaran dalam lirik “tapi aku tak pernah mati, tak akan terhenti”, yang ditujukan untuk alm Munir pada lagu Di Udara. Ada getaran lewat lirik “semoga ada yang menerangi sisi gelap ini, yang setia menunggu hujan reda”, pada lagu mereka Desember. Sampai akhirnya mereka pamit lewat riuh tepuk tangan yang mengiyakan intuisi mereka tadi jadi sebuah bentuk interaksi, hati. Pasar Bisa Dikonserkan membuat kita menjadi asing dengan apa yang biasanya ada di “pasaran”, yang disatu sisi hal itu menandakan jika ERK berhasil membuat pasarnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar