Tidak harus memang untuk menuliskan rangkuman apa yang terjadi disepanjang tahun 2015 ini. Saya hanya sedang mengemudikan motor saya yang melaju begitu pelan, dengan tatapan ke arah spion motor mellihat apa yang sudah saya lalui. Perjalanan ini belum sampai, entah masih panjang, entah sebentar lagi, tidak ada yang tahu pasti.
Setiap tahun, sepanjang saya hidup polanya akan selalu sama. Siklus, sirkus, drama, karma, melankolia, bahagia, tertawa. Klasik, tapi memang seperti itu. Mau gimana lagi, nyatanya hidup adalah tentang apa yang dijalani, bukan tentang apa yang dikehendaki harus selalu sejalan dengan apa yang diinginkan. Bisa dengan pencapaian yang menyenangkan, bisa dengan harapan yang terpatahkan. Mau gimana lagi, nyatanya bukan saya yang merancang semua yang terjadi di hidup saya.
Lirik lagu Good Ridance (Time Of Your Life) dari Green Day mungkin akan saya nyanyikan seumur hidup saya. Penggalan “so make the best of this test and don’t ask why, it’s not a question but a lesson learned in time. it’s something unpredictable but in the end is right. i hope you’ve had the time of your life”, adalah jawaban setiap kegelisahan saya. Nyatanya hidup adalah tentang menjalani dan menghadapi ujian, sampai akhirnya saya mati karena waktu yang tidak lagi berpihak. Kegelisahan itu muncul ketika saya bertanya kenapa. Tapi ketika tahu jika yang harusnya saya lakukan hanyalah menjalani ujian dengan sebaik mungkin, maka kegelisahan itu hilang, atau lebih tepatnya harusnya bisa hilang tanpa saya bertanya kenapa. Karena jawabannya ada pada waktu.
Waktu saya akan habis, cepat atau lambat. Cara terbaik yang bisa dilakukan adalah berjalan beriringan dengan waktu, bukan mengejarnya atau mempersilakan waktu berjalan lebih dulu, karena waktu tidak bisa menunggu. Pernah ada disituasi bermain-main dengan waktu, dengan membiarkannya berjalan tanpa saya gunakan sebaik yang saya bisa. Saya harus bayar mahal akan hal itu. Kehilangan begitu banyak momen berharga dari orang-orang terkasih menjadi hal yang menghantui saya setiap harinya.
Ayah saya meninggal ketika saya belum sempat bilang betapa saya mencintai dia, dan berterima kasih kepadanya karena telah ada dan berjuang untuk keluarga. Padahal saya punya waktu 22 tahun hidup bareng dia, sampai akhirnya waktu tidak lagi berpihak dan menjemputnya. Disisa hidupnya saya lewati dengan beradu argumen panjang dengan semua bantahan saya yang merasa diri lebih pintar darinya. Ada luapan emosi yang tidak seharusnya saya peragakan, dibalik tiap keringat yang menetes dari tubuh ayah sepulang dia kerja untuk keluarga. Saya kalah. Saya kalah dengan ego saya, sampai akhirnya waktu menertawakan saya, karena nyatanya waktu tidak bisa diulang. Saya terlambat, dan waktu menang telak.
Tahun ini, seolah tidak belajar dari kesalahan yang harus saya bayar mahal, saya kembali kalah oleh waktu dan ego saya. Kehilangan orang yang tadinya saya pikir akan menjadi pendamping hidup saya, karena bermain-main dengan waktu. Setahun lebih saya kenal dia, dan saya harus kehilangan dia, kehilangan perasaan dia, kehilangan waktu bersamanya. Saya terlambat, dan lagi-lagi waktu menang telak, ketika apa yang saya sesali tidak bisa saya perbaiki, karena siklus waktu yang tidak menghendaki itu. Lalu kesepian harus kembali saya jalani. Saya menjadi terlalu takut untuk berharap. Untuk berdoa saja saya sungkan. Saya malu sama Tuhan yang telah memberikan saya waktu, lalu saya sia-siakan.
Disisa waktu saya, saya tidak ingin terlambat untuk kesekian kalinya, untuk sekedar mengucapkan terima kasih atas semua yang telah terlewati, terima kasih untuk pengalaman dan pelajaran yang berharga, terima kasih untuk semua rencana yang telah dan akan terjadi, terima kasih untuk tahun ini. Dengan segala kerendahan hati saya meminta maaf dan berterima kasih. Jika beruntung, waktu akan mempertemukan kita semua dikehidupan yang lebih baik dari ini. Terima kasih.
Bandung, Rabu dini hari, 30 desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar