Sabtu, 21 Oktober 2017

HAPPY

Pas nulis ini saya sedang download video ultraman dan naruto pesenan si Liduel. Hampir setiap hari dia pinjam laptop atau HP saya untuk nonton video-video itu. Dia keliatan happy banget. Matanya antusias tiap kali melihat adegan dalam layar laptop atau HP saya. Menurut versi dia yang membuat happy itu ketika dia bisa nonton film ultraman atau naruto. Dia tidak pernah membayangkan untuk jalan-jalan ke lombok atau eropa sebagai alasan agar dia happy. Happy versi dia bukan seperti itu.

Lain lagi dengan saya. Saya bakal happy kalo jalanan ga macet. Video ultraman atau naruto tadi tidak bikin saya happy. Saya lebih happy melihat si Liduel happy dibanding dengan film yang sedang dia tonton. Dan ini akan terus berlanjut dengan artian happy versi tiap orang yang berbeda-beda, seperti misalnya adik saya yang baru bisa happy kalo persib menang. Atau ibu saya yang bakal happy kalo anaknya rajin solat.

Menyenangkan diri sendiri itu hal yang mudah, selama ekspektasi ditekan serendah mungkin. Seperti ketika pulang kerja, laper, kemudian tersaji telor ceplok pake kecap dan nasi panas, itu udah lebih dari apapun selama saya masih bisa bersyukur. Atau berkunjung ke rumah seorang teman lama, ngobrol panjang lebar membicarakan nostalgia masa sekolah dan kenakalan remaja dulu. Itu bikin saya happy. Kebahagiaan yang real, bukan atas dorongan etalase pencitraan dalam instagram. Fuck instagram. Fuck pada apapun yang memberikan standar kebahagiaannya pada banyak orang. Tidak semua orang bisa bahagia dengan secangkir kopi, tidak semua orang bisa bahagia dengan berfoto ditempat keriaan yang sedang hits. Fuck itu semua. Saya punya standar kebahagiaan sendiri.

Menyenangkan diri sendiri itu hal yang mudah. Namun akan menjadi susah ketika harus menyenangkan orang lain. Tidak banyak orang seperti Endah N Rhesa misalnya, yang bisa sama-sama happy ketika bermain musik bersama. Endah tidak butuh usaha lebih untuk menyenangkan Rhesa, begitu juga Rhesa, karena keduanya happy dengan hal yang sama, yaitu musik. Namun jika dihadapkan pada kesukaan yang berbeda, itu yang akan bikin susah. Perasaan gagal membuat orang lain happy itu adalah sebuah persoalan bagi saya yang over dramatic dan melankolis ini. 

Saya sering merasa kecil, dan perasaan kalah atau gagal adalah hal yang saya benci. Saya benci ketika harus mengutuk diri sendiri karena kepayahan diri saya. Saya sering kebingungan mencari cara membahagiakan orang lain. Atau bisa juga saya tahu caranya, tapi ga mampu mewujudkannya. Itu perasaan yang ga enak. Ketika gagal membahagiakan orang. Seseorang yang begitu saya kenal baru akan happy kalo dia saya ajak main. Tapi fuck itu hal yang sulit buat saya yang mengalami gangguan psikologis agoraphobia dan kecemasan berlebih ini. Saya tidak pernah merasa nyaman ada dalam sebuah keriaan yang banyak orangnya. Itu hal yang ga enak. Seberapa panjang saya bercerita tentang hal traumatis yang membuat saya seperti itu, dan sejauh ini ga ada yang bisa ngerti juga. Akhirnya dibanding harus meyakinkan orang untuk bisa mengerti saya, saya memilih biar saya saja yang menyerah. Mereka happy, tapi saya ngga. Fuck big no. 

Suatu hari teman saya pernah nanya apa asiknya diam dalam kamar seharian. Coba liat keluar banyak pemandangan. Terus saya jawab. Kan ada google anjing. Mau liat apa aja bisa. Saya ga pernah bisa ngerti dengan orang yang berburu tempat yang hits untuk berfoto. Dan sebaliknya, mereka juga sama-sama sulit memahami saya. Mereka punya argumen, saya juga punya argumen. Argumen saya adalah saya menganggap dunia itu ilusi. Dunia itu ngga ada, dan kalaupun ada toh suatu hari juga bakal ditinggalkan. Memangnya siapa yang bisa bertahan hidup selamanya di dunia? Menikmati keindahan dunia di usianya yang ke seribu tahun misalnya. Tidak ada dan tidak akan pernah ada. 

Saya sulit membahagiakan orang lain, dan itu hal yang saya sering keluhkan. Saya mengutuk diri saya sendiri sebagai produk manusia gagal. Saya benci ketika merasa seperti itu. Harusnya saya tidak mengutuk diri sendiri. Harusnya saya bisa bikin orang lain happy. Tapi seringnya gagal. Susah. Demi apapun, susah. Kalaupun ada satu orang yang ga pernah berharap lebih tentang diri saya, dia adalah ibu saya. Si manusia terbaik di dunia itu ga pernah bikin saya sakit hati. Ga pernah ada tendensi juga buat menyakiti saya. Baginya selama saya happy dia bakal happy. Saya ngga pernah terbebani oleh harapan dia yang ditekan serendah mungkin agar saya happy dan ga tertekan. Ini jadi hal yang bisa bikin saya happy, karena dia happy, dan dia happy karena saya happy, dan sejauh ini ga ada cinta sedalam itu yang hadir di hidup saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar