Selasa, 19 Juni 2018

LEBARAN 1439 H/2018

Ada yang beda di lebaran tahun ini. Tahun ini saya tidak solat ied bersama keluarga saya, tapi bersama keluarga istri saya. Satu hal yang mungkin masih jadi lamunan bertahun-tahun lalu, ketika saya bertanya bagaimana rasanya merayakan lebaran bersama dengan pasangan. Hal itu terjadi tahun ini. Meskipun ada satu hal yang aneh, karena mungkin ini pertama kalinya saya solat ied tidak bersama keluarga. Sebuah perasaan yang bisa dibilang berlebihan, karena siangnya juga saya ke rumah ibu saya, sekalian ziarah ke makam papa saya, yang kali ini ada tambahan personil baru, istri saya dan calon anak saya, mau nengok kakeknya.  

Tapi sebelum ke rumah ibu, saya berkunjung ke rumah Wa Eni dulu. Nah Wa Eni ini bisa dibilang yang “dituakan”, dan kebetulan rumahnya bisa memfasiltasi tempat berkumpulnya keluarga besar istri saya. Surprisingly, keluarga besar istri saya itu memang besar dalam artian hitungan jumlah. Suasana kaya gini udah lama tidak saya rasakan, sejak meninggalnya nenek saya sekitar tahun 2009. Dulu juga tiap lebaran, saya bekumpul dengan keluarga besar ibu dan papa saya, yang dibagi dua wilayah, antara Cimahi, yang jadi kampung halaman ibu saya, dan Leuwi Panjang, yang jadi kampung halaman papa saya. Berkumpul di rumah Wa Eni, sedikit banyak bisa membawa lamunan saya ke memoar masa kecil saya pas lebaran. 
Bicara tentang lebaran, ada yang identik dengan hari raya umat muslim di Indonesia ini. Sebagai sebuah tradisi, lebaran identik dengan hidangan ketupat, dan aneka macam masakan, yang bermuara pada satu persamaan, yakni : santan. Aneka macam hidangan yang dikombinasikan dengan ketupat seperti opor atau kari, menjadi primadona di hari yang fitri ini. Uniknya, saya dan istri memberi ranking pada setiap hidangan ketupat yang kami cicipi dihari lebaran ini. Sepintas mirip review makanan vlog nya Raditya Dika lah. Dan dari empat hidangan lebaran yang kami nikmati, berikut urutan dari yang terenak sampai yang paling biasa menurut kami : Pertama, ketupat buatan mama Erni, mertua saya. Kedua, ketupat buatan ibu Iim, mertua istri saya. Ketiga, ketupat buatan mama riung, mertua a Bakti. a Bakti itu suami dari teh Gina. teh Gina itu kakak sepupu saya. Saya itu adalah anak dari adiknya mama Riung. Jadi mama riung itu adalah Uwa saya. Ke empat, ketupat buatan Wa Eni. 

Lalu, kenapa ibu saya hanya menempati urutan kedua, dari daftar hidangan ketupat paling enak saat lebaran? Jawabannya, mungkin secara objektif ibu saya bukan orang yang sangat pintar masak. Jadi meskipun dia tidak berhasil memenangkan lidah saya, tapi dia selalu berhasil memenangkan hati saya. Biarlah urusan lidah, mama mertua saya juaranya, namun urusan hati ibu saya juaranya. Baru setelahnya istri dan mama mertua saya, yang saya sayangi lahir dan batin. 

Besoknya, saya sekeluarga pergi ke Cimindi, sebuah daerah sebelum Cimahi, dimana banyak pabrik dan pendatang yang mengubah pandangan saya akan sebuah tempat yang asri, menjadi tempat kumuh padat penduduk, dimana jarak dari satu rumah ke rumah lainnya begitu rapat dan sesak. Namun meski begitu, banyak kenangan yang saya ingat tentang daerah ini, terlebih karena sejak lahir sampai menjelang SMP saya banyak menghabiskan waktu dengan nenek saya, yang notabene nya orang Cimindi asli. Dari mulai kolam ikan yang luas di depan rumah mak Haji (kakaknya nenek saya), sampai beberapa hidangan khas yang jarang sekali saya temui di tempat lain, seperti ulen, godog bari, atau kue ali agrem. Menurut istri saya, berkunjung ke keluarga saya di Cimindi, mengingatkan dia akan almarhumah neneknya. Hal itu didasari dari bangunan rumah dan hidangan-hidangan jadul yang ada di rumah keluarga saya di Cimindi. 

Menjelang sore hari kami pulang ke rumah ibu saya, dan sedikit buru-buru karena bibi saya dari Majalengka mau datang ke rumah ibu saya. Singkat cerita, besoknya saya dan keluarga bibi saya pergi ziarah ke makam nenek di Riung Bandung. Jika dihitung dari meninggalnya, ini masuk tahun ke sembilan lebaran kami tanpa sosok nenek saya. Seseorang yang ngasuh dan ngurus saya dari bayi sampai saya besar. Orang yang pintar masak, dan guru ngaji pertama saya.....Sedikt intermezo...Dulu saya pernah bertanya tentang hal ini pada nenek saya, “kalo ada orang baiiiik banget, tapi dia ga solat, itu gimana?”. Lalu nenek saya menjawab, “orang yang berbuat baik tapi ga solat itu, kaya orang ngambil air tapi embernya bocor. Karena solat itu selain tiangnya agama, tapi juga wadah semua amal kebaikan kita”. 

Pertanyaan itu didasari rasa malas saya setiap kali disuruh solat sama nenek, terlebih saat solat Subuh dan Isya. Waktu itu saya berpikir, jika dengan berbuat baik saja sudah cukup, ngapain harus solat segala. Namun jawaban nenek saya cukup straight to the point, dan punya kekuatan kalimat yang nonjok lah bisa dibilang. Sebuah kalimat yang paling membekas di ingatan saya terhadap sosok nenek saya, sampai hari ini. Doa yang terbaik untuk almarhumah. Amin. 

Selepas berziarah, kami sekeluarga melakukan hal yang dilarang dalam catatan khusus ke-“anarki”an saya. Hal yang didasari dari pernyataan band Camera Obscura yang berbunyi “ I dont want to be part of your scene”, yang kemudian saya aplikasikan dalam penolakan saya akan pergerakan kang Emil, dengan semua tempat-tempat yang dia buat, untuk menunjukan index of happiness warga kota Bandung. Saya tidak sependapat dengan hal-hal yang indah dari luar, tapi buruk dari dalam. Dan menurut saya index of happiness warga Bandung juga ngga tinggi-tinggi amat, selama macet masih menjadi masalah, yang hampir mustahil ada jalan keluarnya itu.
Tapi....hari itu saya memakan omongan saya sendiri, dengan menginjakan kaki saya di rumput sintetis alun-alun Bandung, untuk pertama kalinya. Lengkap dengan berfoto bersama Transformer. Sebuah budaya yang mungkin hanya akan dilakukan oleh orang luar kota Bandung, karena orang Bandungnya sendiri mungkin sepakat dengan pernyataan band Camera Obscura di atas. Tapi...ya apalah arti anarkisme jika itu harus berhadapan dengan dinding keluarga, yang mustahil dihancurkan, karena ancaman masuk neraka jika membantahnya. Oh iya, motivasi untuk berfoto bersama Transformer itu tujuannya untuk pamer sama si Liduel, mengingat Transformer adalah robot favorit dia. Dengan harapan dia bisa iri dan kesal. Tapi kalo reaksi dia biasa saja, maka misi dinyatakan gagal. Sampai akhirnya kami semua beristirahat di rumah saya, setelah sebelumnya sempat jajan-jajan cantik ditengah terik matahari, yang seakan menertawakan kami, karena heran kenapa ditengah siang yang terik orang-orang masih aja memberanikan diri untuk jalan-jalan.
 
Lepas dari itu, lebaran tahun ini cukup berkesan bagi saya, yang tahun ini punya keluarga baru, dari keluarga besar istri saya. Hal yang makin membuat lamunan saya melayang membayangkan tahun depan, saat buah hati kami sudah lahir dan ikut merayakan lebaran juga. Lalu membayangkan para keponakan bermain bersama, dan siklus kembali berulang, ketika dulu juga saya melewati masa-masa itu bersama sepupu-sepupu saya. Satu masa yang indah banget sekali pisan, sebelum akhirnya kami menjadi dewasa, formal, dan kehilangan “fun” nya jadi manusia. Padahal kan katanya hidup hanya senda gurau belaka. Karena kehidupan yang sebenarnya kan nanti. Wallahu alam. 

Banjaran, 19 Juni 2018 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar