Mawang. Satu nama yang belakangan menjadi perbincangan karena dinilai mempunyai karya yang tidak lazim. Lewat sebuah lagu berjudul “Kasih Sayang Kepada Orang Tua”, Mawang mengagetkan pubik luas dengan cara bernyanyi yang dinilai ‘absurd’, lengkap dengan penulisan lirik tidak kalah absurd, karena tidak bisa dikategorikan ke dalam bahasa apapun. Kecuali bahasa musik, ... mungkin.
Namun Mawang bukan tidak mempunyai narasi besar dalam karya-karya yang dianggap awam tidak lazim tersebut. Untuk lagu berjudul “Kasih Sayang Kepada Orang Tua” misalnya, Mawang menuturkan jika ungkapan kasih sayang kepada orang tua tidak bisa digambarkan dengan kata-kata yang biasa, dan caranya menginterpretasikan itu –salah satunya- dengan mengetengahkan lagu berlirik absurd, yang dilengkapi pula dengan gimmick dan performing art dia di atas panggung.
Ditemui disela-sela syuting DCDC MusikKita, Mawang menuturkan jika ada banyak pengaruh yang menjadikannya seperti Mawang sekarang. Salah satunya John Cage (musisi/komposer yang dikenal berkat orkestrasi senyapnya, di mana dirinya hanya duduk di depan piano, tanpa memainkannya) yang dia kenal lewat pembelajaran dari dosen-dosennya di kampus (Mawang kuliah di salah satu kampus seni di Bandung).
Karena proses pembelajaran tersebut menjadikannya lebih leluasa dalam berkarya, termasuk dengan membuat ‘kesalahan-kesalahan’ baru, hingga hal tersebut berbuah pada suatu konsep yang tidak terduga, dan menjadi menarik ketika si musisi (atau dalam hal ini Mawang) bisa menggiring orang ke dalam asumsi yang berbeda. “caranya banyak, bisa dari gimmick atau pun performing art saya di atas panggung. Walaupun saya membebaskan interpretasi orang seperti apa dengan karya saya”, ujar Mawang.
“kalo ngomongin musik sebenarnya dengan cara saya bicara, berjalan, nafas, dan banyak aspek dalam hidup saya bisa dikategorikan ke ranah musikal, karena di dalamnya ada dinamika, aksen, ritme, dan komponen-komponen yang biasanya ada dalam musik. Kalau pun mau dibikin nada ya pasti bisa. Terus kalau pun banyak orang tidak mengerti dengan karya saya, tidak masalah juga. Tidak ada keharusan agar mereka harus mengerti dengan karya saya. Kalau misalnya udah suka, mungkin nanti mereka bisa cari tahu sendiri. Misalnya saja kalo orang suka bola, atau dalam hal ini Persib contohnya. Itu mereka tahu semua nama-nama pemainnya, padahal kan itu tidak diajarkan di sekolah” , jawab Mawang, ketika ditanya tentang musik menurutnya.
Beberapa orang beranggapan jika apa yang disajikan Mawang merupakan perlawanan dari budaya-budaya popular, termasuk musiknya yang disajikan seperti antitesis dari musik-musik atau lagu-lagu popular yang ada. “Tidak ada maksud perlawanan. Itu perkembangan dan pencarian diri saya lewat pendewasaan dalam berkarya. Popular atau tidak popular kan itu tergantung masyarakat”, ujar Mawang.
Lalu dia juga menambahkan jika ada berbagai sudut pandang dari karyanya tersebut. “kalo disebut terkonsep ya memang dikonsep, dan memang dipikirkan dampaknya seperti apa terhadap diri saya sendiri, lalu penerimaannya seperti apa. Tapi kalo dibilang antitesis bisa juga. Jadi dari konsep-konsep yang ada itu saya minimalisir, dari sesuatu yang asalnya luas lalu saya bentuk secara minim tapi maximal, seperti yang dilakukan oleh Slamet Abdul Sjukur lah contohnya" (seorang komponis yang dikenal sebagai salah seorang pionir musik kontemporer Indonesia. Karya-karyanya lebih banyak dinikmati di mancanegara, khususnya negara-negara Eropa, daripada di Indonesia. Ialah yang mempunyai ide yang disebut minimaks-red)
Ada sesuatu yang begitu serius dibalik hal-hal absurd dan jenaka yang Mawang sajikan dalam karyanya. Ketika ditanya tentang ada tidaknya kekhawatiran tentang citra Mawang yang selalu dinilai jenaka tersebut, Mawang menuturkan jika dirinya tidak masalah dengan anggapan orang lain. “Proses berkarya jangan ada batasan pengaruh dari luar. Kalo kita menilai diri kita seperti apa kita tidak akan tahu nanti kita akan seperti apa. Kalo dibilang serius ya ini serius. Tapi kalo nganggapnya becanda juga ga masalah”, ujar Mawang.
Apa yang dilakukan Mawang sedikit mengingatkan pada Sindentosca, di mana musisi yang dikenal berkat lagu “Kepompong” ini pernah begitu ‘idealis’ dengan membuat bahasa sendiri dalam lagunya, yang dia beri nama sundaceltic (terdapat di lagu Sindentosca berjudul “Gaunusukni Mulun”). Hal tersebut rupanya juga dialami oleh Mawang. Dia menuturkan jika dirinya kerap membuat bahasa sendiri sebelum akhirnya dia dikenal berkat lagu “Kasih Sayang Kepada Orang Tua”.
“Saya berkembang bersama teman-teman dalam membuat karya. Salah satunya berhubungan pula dengan ranah sastra, seperti contohnya dengan membolak balikan kata-kata atau kalimat yang sudah tertata, hingga pada akhirnya terdengar seperti bahasa baru, padahal sebenarnya hanya mengutak-atik bahasa yang sudah ada saja. Tidak hanya itu saja, eksplorasi juga merambah ke ranah musikal, dimana saya seperti ditantang untuk menyikapi notasi-notasi yang dinilai konvensional dan tidak konvensional”, ujar Mawang menjelaskan tentang proses kreatif di balik lagunya.
Tentang Maw & Wang
“Maw & Wang itu sebenarnya dilatari pengalaman saya yang suka nulis percakapan-percakapan sendiri, di mana ada dua sisi Maw & Wang. Kaya Yin dan Yang lah. Saya juga suka mendebat diri sendiri lewat Maw & Wang itu. Atau selain itu, sederhananya karena banyak diantara teman-teman saya yang manggil Maw dan juga Wang. Jadi bebas saja mau dipanggil Maw atau Wang juga. Sama kaya karya saya. Mau dianggap serius atau becanda silakan. Lagi pula saya ingin dikenal sebagai musisi yang ikhlas dan nyaman dengan karya saya”, ujar Mawang menutup obrolan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar