Bicara musik berarti bicara harmoni, dan bicara harmoni berarti bicara tentang perbedaan. Lebih tepatnya perbedaan yang selaras, saling mengisi, dan menguatkan. Tentang perbedaan sendiri, Kurt Cobain, seseorang yang dianggap merepresentasikan musik era 90an pernah berujar “They laugh at me because I'm different; I laugh at them because they're all the same”. Pernyataan Kurt tersebut menjadi sejalan dengan citranya yang dianggap berbeda dan seperti kebalikan dari apa yang sedang populer saat itu. Kala era guitar hero mendominasi dengan permainan gitarnya yang bak dewa, Kurt, bermain dengan raw, urakan, tapi bisa menggambarkan dengan baik apa itu ‘kebebasan berekspresi’.
Puluhan tahun kemudian perihal perbedaan masih menjadi dua kubu yang berseberangan, ada yang meyakini indahnya perbedaan, dan ada pula yang menafikan perbedaan, untuk kemudian membuat formula bernama ‘selera pasar’. Untungnya beberapa band memilih kubu yang pertama, seperti halnya tiga band asal Bandung, Cupumanik, Alone At Last, dan Nectura, yang memilih perbedaan sebagai sesuatu yang punya estetika menarik, ketika band dengan genre musik berbeda ini menggelar pertunjukan musik bertajuk ‘Konser Tiga Sisi’. Ada Cupumanik dengan ‘Grunge Harga Mati’ nya, Alone At Last dengan predikat ‘Bapak Emo Bandung’ nya, dan Nectura dengan gempuran musik metal bertenaga nya. Ketiganya meyakini indahnya perbedaan, pula meyakini bahasa yang sama, yakni bahasa musik. Hal tersebut kemudian bermuara pada hari Sabtu, 18 Januari 2020, bertempat di gedung Institut Français d'Indonésie (IFI) Bandung.
Sekitar pukul 5 sore nampak rombongan Cupumanik tengah selesai melakukan soundcheck untuk gelaran ini. Sang vokalis, Che menyapa saya yang disambut oleh tawaran wawancara oleh saya. Banyak obrolan menarik yang kami bicarakan, dari mulai kenapa Cupumanik perlu mengidentikan citranya dengan grunge, lalu kembalinya Rama untuk proyek reuni dengan Cupumanik, hingga etos kerja DIY (Do It Yourself) yang dulu menjadi cikal bakal scene indie saat ini, kemudian digantikan oleh Che menjadi Do It Your-Friends, sebagai pola membangun scene indie dengan kerja kolektif, seperti halnya gelaran ‘Konser Tiga Sisi’ ini.
Tidak berselang lama setelah selesai melakukan wawancara, beberapa wajah terlihat familiar di area pertunjukan gedung IFI. Sebagian besar merupakan wajah lama, para penggemar era awal yang merasa terpanggil menyaksikan idolanya, terlebih dengan kabar gitaris pertama Cupumanik, Rama, kembali bermain dengan Cupumanik. Sebelum era mereka memproklamirkan diri sebagai band grunge, lengkap dengan riff-riff khas a la musik ini, pada era awal Cupumanik berdiri, Che menyebut sebagian besar karya Cupumanik di album pertama sebagai lagu-lagu kontemplatif, yang mengajak pendengar melihat lebih dalam tentang siapa dirinya.
Tampil menjadi pembuka gelaran malam itu, ada Alone At Last, dengan sang vokalis Yas yang nampak masih menunjukan tanda-tanda cedera, setelah sebelumnya sempat dikabarkan bermasalah dengan kakinya. Tidak mengurangi energi yang dia tularkan di atas panggung, nampak Yas masih sanggup berbagi keringat dengan para Stand Alone Crew yang bergantian berebut microphone dari tangannya. Menariknya, sang basis, Ubey, juga mendapat spotlight yang tidak kalah dibanding sang vokalis utama, Yas. Sempat beberapa kali meletakan bas nya dan mengambil alih posisi vokalis dibeberapa lagu, Ubey memimpin koor masal malam itu, dari mulai lagu “Takkan Terhenti Disini” hingga lagu “Saat Dunia Tak Menatap Ke Arahmu”.
Hadirnya Alone At Last di atas panggung seakan menegaskan tagar #makeemogreatagain yang sempat ramai beberapa waktu lalu, hingga hal tersebut dibuktikan dengan pertunjukan intens antara Alone At Last dan penggemarnya. Nampak bagi mereka lagu-lagu dari Alone At Last sudah bukan perkara teknis, melainkan jadi bagian dari perjalanan hidup mereka, dari mulai era remaja dengan darah muda nya tersebut, hingga nampak wajah-wajah penggemar lama berdiri di barisan belakang, seakan melempar lamunannya kala lagu “Amarah, Senyum, Air Mata” dari 'Bapak Emo Bandung' ini menjadi heavy rotation di kamarnya.
Selanjutnya ada Cupumanik, yang sesuai janji Che di awal, akan membawakan lagu-lagu lama Cupumanik dengan tamu kehormatan malam itu, si anak hilang, Rama, di gitar. Lagu-lagu seperti “Bukan Saat Ini” hingga “Siklus Waktu” terbukti berhasil membawa penonton hanyut dan bernyanyi bersama. Tidak satu dua orang yang nampak berkaca-kaca kala membawakan lagu yang menurut Che kontemplatif tersebut. Menjadi wajar, berhubung apa yang ditulis di lagu-lagu tersebut terasa personal dan ‘dalam’. Sesuai janjinya juga, Che dan Cupumanik tidak akan terlalu banyak membawakan lagu (menurut istilah Che) ugal-ugalan, dan terbukti hanya satu nomor yang mengetengahkan distorsi tebal sebagai menu utamanya, yakni ketika Cupumanik membawakan lagu “Grunge Harga Mati”.
Beberapa wajah lama yang nampak menunggu formasi ‘asli’ Cupumanik ini terlihat puas, hanya mungkin ada beberapa yang menunjukan muka ‘kentang’ berhubung nomor jagoan mereka, “Maha Rencana” urung dibawakan karena keterbatasan durasi. “padahal gua udah ngurangin ngomong panjang di panggung lho, biar semua nomor lama Cupumanik bisa dibawakan, tapi terbatas juga sih ya. Next time deh “Maha Rencana” dibawakan”, ujarnya pada saya.
Selanjutnya, area pertunjukan masih menyisakan ‘monster’ berbahaya dari unit metal, Nectura. Beberapa penonton yang sebelumnya sempat ‘diredakan’ dengan lagu-lagu –mid tempo- dari Cupumanik, kembali meliar bersama lagu-lagu dari Nectura. Lagu-lagu semisal “Tirani Mati” atau “Kawan Bukan Lawan” menjadi sajian menarik bagi para penggemarnya yang datang malam itu. Abah Andris yang bertanggung jawab untuk urusan ritmis dikuatkan pula oleh Hin Hin ‘Akew’ dengan distorsi tebalnya, yang kemudian dimuntahkan oleh sang vokalis, Owang jadi serangkaian hook menarik pula bertenaga, hingga hal tersebut bisa bersinergi dengan penonton pada malam itu.
Sebagai penutup, gelaran ‘Konser Tiga Sisi’ menyimpan satu hal yang mungkin tidak akan bisa ditebak oleh siapapun, kala Vicky Prasetyo naik ke atas panggung membawakan lagu Nirvana, “Smell Like Teen Spirit”. Saya yang mulai beranjak pulang usai Nectura menyelesaikan setlist lagunya, hingga hanya menyisakan beberapa langkah menuju parkiran, sampai akhirnya seorang teman mengatakan jika ada Vicky Prasetyo menjadi penutup gelaran ini. Namun lepas dari itu, ‘Konser Tiga Sisi’ merupakan sajian pelepas dahaga pada awal tahun 2020 yang mempertegas jika ranah musik indie di Indonesia, Bandung khususnya, masih bergeliat, dan belum menunjukan tanda-tanda kelelahan dalam ‘menyalurkan’ sinergi yang lahir dari musik so called ‘underground’ ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar