Selasa, 07 April 2020

ALBUM MUSIK JADI FILM? MEMANG BISA?

Rumah adalah tempat paling nyaman buat kita, di mana kita bisa ‘mager’ (malas gerak - red) seharian, tanpa melakukan apapun, kecuali satu hal, NONTON. Beberapa diantaranya ada yang menghabiskan malam dengan begadang nonton bola, hingga ada juga yang melakukan movie marathon, dengan pilihan film favorit masing-masing. Bicara fim, cukup banyak juga film yang dilatari musik sebagai tema utamanya, dari mulai film klasik seperti ''The Sound Of Music'', hingga film animasi ''Coco'', yang menjadikan musik sebagai menu utamanya. Lalu ketika bicara soal musik maka kita juga akan bicara soal album, sebagai muara dari lagu-lagu versi ‘ketengan’ para musisi atau sebuah band. Album kemudian jadi monumen tersendiri bagi musisi atau band kala lagu-lagunya dibungkus dengan sebuah tema tertentu yang memiliki benang merah, hingga hal tersebut rasanya memungkinkan untuk juga di-visualkan dalam format film.

Melancolic Bitch – Balada Joni & Susi ( Rilis tahun 2009 )

Hal yang kiranya menarik untuk dibahas dari album Balada Joni & Susi adalah ‘the man behind the gun’, Ugoran Prasad, vokalis sekaligus fiksionis yang bertanggung jawab besar untuk penulisan lirik lagu-lagu di album tersebut. Ugo yang tertarik dengan dunia pertunjukan, kemudian menempuh program doktoral di bidang Kajian Teater di Graduate Center, City University of New York (GC-CUNY). Dia juga memenangkan penghargaan cerpen terbaik Kompas (2005-2006) dengan cerpennya yang berjudul "Ripin".

Dengan sederet pencapaian dan latar belakangnya tersebut tidak heran jika kemudian album Balada Joni & Susi menjadi begitu kuat secara penceritaannya. Lepas dari olah kreasi musik yang diolah apik tersebut, album ini juga dengan menarik menggambarkan tentang kisah pelarian Joni dan Susi dari realita, ketika realita tidak berpihak kepada keduanya. Bagaimana ketika mereka saling menghidupi satu sama lain dengan cinta yang mereka miliki, dan berjuang hidup sebagai kelas pekerja yang baku hantam dengan realita di negara dunia ketiga.

Suguhan cerita yang ditawarkan album ini akan menarik jika digambarakan dalam medium film. Mungkin akan sejalan dengan cerita Sid and Nancy, atau mungkin Radit dan Jani dalam versi lokalnya. Akan banyak dinamika menarik serta ragam kisah pelik di sepanjang durasinya. Mungkin bukan typical film drama dengan kisah romantis yang kian hari kian banal, tapi Balada Joni & Susi rasanya akan punya cara sendiri untuk menerjemahkan romansa mereka dalam kisah asmaranya.

Endah N Rhesa (Trilogi album Nowhere to Go (2009), Look What We’ve Found (2010), dan Escape (2013) )

Album trilogi dari Endah n Rhesa ini mungkin sedikit menemukan kemiripan dengan album Balada Joni & Susi, dimana benang merah keduanya adalah perihal pelarian dan menemukan semesta yang mereka reka sendiri. Lebih terasa relate mengingat dalam kehidupan aslinya, Endah n Rhesa adalah sepasang suami istri yang kemudian menemukan musik sebagai ‘semesta’ mereka. Membayangkan romantisme tentang suami istri yang berpetualang dengan musik sebagai jalan hidupnya, rasanya akan menarik jika digambarkan pula dalam medium film.

Mungkin akan sedikit mengingatkan pada film berjudul ‘Once’, di mana secara benang merahnya juga menyajikan musik sebagai menu utamanya. Membayangkan apa yang Endah n Rhesa tulis dalam trilogi albumnya tersebut hingga hal itu dijadikan skenario film, mungkin penonton akan dibawa pada sebuah dunia utopis di mana musik menjadi jawaban dari semua kekhawatiran banyak orang tentang hidup. Dari mulai keinginan mereka mencari semestanya di album Nowhere to Go, lalu menemukan dunianya di album Look What We’ve Found, dan akhirnya ingin menghabiskan sisa umurnya di album Escape.

Zoo – Trilogi Peradaban (rilis tahun 2010 )

Di album Trilogi Peradaban, ada tiga babak album yang jadi satu kesatuan. Musiknya menjadi lebih primitif, mentah dan berbasis suara akustik. Pendekatan ini menggambarkan bahwa sedang terjadi kemunduran pada peradaban manusia modern, di mana secara tema lirik masih relevan untuk didengarkan hari ini meski usianya telah menyentuh satu dekade. Misalnya ‘’Bulldozer’’ (penggusuran, simbol mesin yang mengganti alam dengan manusia), ‘’Para Raksasa’’ (tentang manusia berkuasa) atau ‘’Manekin Bermesin’’ (kehidupan sehari yang tidak melihat banyak hal selain pekerjaan seperti layaknya mesin).

Album ini menjadi begitu relevan dengan kondisi di banyak negara dunia ketiga atau negara berkembang seperti di Indonesia. Dan ketika misalkan album tersebut kemudian juga disajikan dalam medium film peggambarannya akan semakin jelas dan menyentuh banyak unsur yang bisa ‘ditampar’. Ingat film ‘’Sexy Killer’’ ? Mungkin lebih kurang gambarannya akan seperti itu. Bedanya, mungkin Zoo membawa semestanya sendiri dalam penceritaan yang mereka tulis.

Apalagi album ini kemudian menemukan episode lanjutan dari album Zoo berikutnya, dari mulai Prasasti (rilis tahun 2012), Samasthamarta (rilis tahun 2015), dan Khawagaka yang dirilis pada tahun 2019. Semua albumnya tersebut merupakan upaya Zoo melakoni pencarian akan sisa-sisa warisan leluhur dalam bentuk prasasti atau manuskrip kuno, yang kemudian menjadi lintasan waktu menarik ketika itu dituangkan dalam ranah visual seperti film, di mana Zoo akan menawarkan keliaran paripurna lewat cerita dan semesta yang mereka reka dari hasil mengkaji kekayaan nusantara. Semoga saja ada sutradara yang juga cukup ‘gila’ untuk menerjemahkan keliaran Zoo secara visual. Karena layaknya Marvel Cinematic Universe, Zoo membuat dunianya sendiri, dengan segala macam teori dan pernik menarik yang mereka ciptakan untuk menguatkan karyanya.

Forgotten – Kaliyuga (rilis tahun 2017)

Band death metal asal Bandung ini selalu punya barisan lagu dengan isian yang tidak hanya berisi kemarahan tanpa adanya latar belakang cerita yang kuat. Salah satunya album Kaliyuga. Album ini menjadi menarik, mengingat saat itu sang vokalis Addy Gembel harus kembali menaruh ketertarikannya terhadap kitab-kitab kuno, untuk memantik pola kreasi dia membuat lagu. Tidak bersentuhan langsung dengan kondisi negara yang carut marut, di mana preman mudah ditemui dalam radius 10 meter sejak melangkahkan kaki keluar dari pagar, menjadi alasannya kembali membaca itu. Dalam ajaran agama Hindu, Kaliyuga disebut juga dengan “zaman kegelapan", dan merupakan salah satu dari empat jenjang zaman yang merupakan siklus dari Yuga, dari mulai Dwaparayuga, Tretayuga, dan Satyayuga. Hal tersebut kemudian menjadi sejalan dengan atmosfir yang mereka bangun dalam album tersebut, mencekam, penuh teror, dan gelap.

Gambaran yang kiranya akan sangat menarik ketika diterjemahkan dalam sebuah film. Dari mulai Lord Of The Ring hingga film 300 mungkin bisa jadi rujukan untuk album ini jika ingin dijadikan sebuah film. Kolosal, pelik, serta penuh dengan kehancuran dan peperangan, mengingat pada artiannya sendiri adalah zaman kegelapan. Mungkin penonton akan disuguhi adegan-adegan kekerasan yang intens, rapat, dan hanya menyisakan sedikit waktu saja bagi mereka bisa bernafas lega kala menonton film ini, karena sepanjang durasi diisi adegan menegangkan. Dibunuh atau membunuh.

Vira Talisa – Primavera (rilis tahun 2019)

Dalam album Primavera, Vira adalah primadona di dunianya sendiri. Semesta Vira dan Primavera dibangun atas keriaan musim panas, romantisme Cannes, serta sensibilitas menangkap warna musik pop Perancis 1960-an ala Françoise Hardy yang catchy. Gambarannya mungkin akan menjadi kebalikan dari apa yang Forgotten tawarakn di album Kaliyuga. Vira dengan album Primavera nya menawarkan suatu sore yang cerah, dan kamu memutuskan bersepeda mengelilingi kota, melarikan diri sejenak dari rutinitas yang membosankan atau tuntutan hidup yang terkadang begitu menyebalkan.

Mungkin jika gambaran soal romantisme Cannes, serta Perancis era 60-an yang Vira tulis dalam albumnya menjadi lebih menarik jika itu disajikan pula dalam medium film. Mungkin juga akan lebih menarik dari film ‘’Assalamualaikum Beijing’’ dan ‘’Wa'alaikumussalam Paris’’, yang mengetengahkan keindahan visual negara tersebut namun mungkin menjadi nir-makna karena dikaji tidak terlalu ‘dalam’. Mungkin juga cara Vira menulis cerita lebih punya ‘hati’ di dalamnya, di mana Primavera menangkap semua romantisme yang dirasakan oleh Vira dengan Perancis.

Baik itu musik atau pun film keduanya merupakan media bagi si empunya karya untuk menyampaikan pesan. Apapun itu. Dan jika bicara film, sepertinya itu akan menjadi solusi praktis menghabiskan waktu di rumah, mengingat kondisi saat ini yang membuat kita tidak bisa terlalu sering berada di ruang publik. Stay safe, stay health, dan waktunya buat lanjutin movie marathon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar