Rabu, 01 Juni 2022

ANTARA AKU DAN METAL, AW

Ngomongin musik metal sih kayaknya ga banyak yang bisa saya tulis juga, karena nyatanya saya tidak tumbuh dengan lagu atau musik metal. Band band metal yang saya tahu pun relatif sedikit, dan hanya yang muncul ke permukaan saja seperti Metallica atau jika dalam konteks ‘zaman’ saya sih Slipknot ya. Tapi, siapa yang ngga tau band band itu? Rasanya tidak perlu mengaku metalhead untuk bisa tahu band band tersebut.

Untuk Slipknot mungkin saya sedikit lebih banyak tau dibanding band band metal lainnya. Maklum zaman saya ABG (tau Slipknot ketika SMP) apa yang Slipknot citrakan itu begitu relevan dengan era dimana saya pengen keliatan keren. Salah satu cara biar keliatan keren ya dengerin lagu atau musik-musik yang teman-teman saya anggap keren. Salah satunya ya Slipknot itu. Bahkan kalo dipikir-pikir lagi baju band pertama saya itu kaos Slipknot, yang saya beli (tepatnya dibeliin ortu sebagai baju lebaran hehe) di Matahari Departmen Store dengan tag moving blue (ga tau deh itu asli apa bootleg). Yang jelas saya inget banget ketika pake kaos itu banyak yang bilang saya keren hahahaha.

Saya ingat, SMP pake kaos itu ke sekolah, sampai akhirnya salah seorang teman bertanya tentang lagu-lagu Slipknot. Maklum namanya poser (poser atau poseur sih cara nulis yang bener?) saya ngga begitu tau lagu-lagunya, hingga akhirnya si teman itu (namanya Eko) ngasih denger dua album Slipknot ke saya. Saya juga masih ingat kalo saya dengerin dua album tersebut selama perjalanan menuju Dufan, Jakarta. Dulu dengerinnya pake walkman hahaha. 

Singkat cerita saya lumayan tertarik sih dengan musik yang mereka tawarkan, terutama album ‘Iowa’, karena musiknya yang cadas namun disatu sisi masih ada part ‘bernyanyi’ nya juga. Menurut saya Corey Taylor bisa menempatkan suaranya di banyak nuansa dengan cara dia bernyanyi. Dia bisa begitu meneror saat berteriak, begitu mengintimidasi saat dia bernyanyi cepat (seperti sedang ngerap), atau ketika dia bernyanyi sangat pelan namun mencekam di salah satu lagu Slipknot.

Masuk SMA citra Slipknot sebagai band keren masih saya amini, di mana kali ini ada dua teman saya, Aldi dan Bean yang sama-sama menggemari Slipknot juga. Terutama Aldi yang mengaku kalo dia seorang Maggots (sebutan untuk penggemar Slipknot). Berbeda dengan saya dan Bean yang masih menempatkan Blink 182 sebagai idola nomor satu kala itu.

Lepas SMA musik metal agaknya makin menjauh dari radar pendengaran saya, karena masa itu lagu-lagu britpop mulai mencuri perhatian, lengkap dengan kekhasan aksen british dan pola-pola bassline di lagu-lagunya yang membuat saya jatuh hati. Pernah sih pas ngeband bawain yang ‘agak keras’ pas era itu. Tapi itu juga bukan masuk kategori metal sih sebenarnya. Ada mungkin serbuknya mah hahaha. Yup, era itu emo atau post hardcore lumayan booming, termasuk saya dan dua teman saya tadi, Aldi dan Bean yang juga terkena imbas tren emo. Tapi bukan metal juga kan ya. sebentar ini nyari bridgingnya nih, soalnya memang mau bahas metal hahaha.

Lewat masa-masa ABG, masa band-band an, masuklah saya ke fase dunia kerja. Uniknya, tuhan membawa saya ke dunia kerja yang masih berhubungan dengan dunia musik, meski bukan seorang pemain musik atau musisi. Yup, saya kemudian menjadi seorang penulis musik di beberapa media di Bandung. Dari mulai reporter lapangan yang cuma dibayar tiket konser gratis, lalu ‘uang bensin’, sampai kemudian karena saya kadung masuk ke dunia itu akhirnya berbuah manis kala saya akhirnya digaji sebagai seorang penulis/jurnalis musik.

Tepatnya pada tahun 2017 ketika saya akhirnya nulis untuk sebuah website bernama DCDC (DjarumCoklatDotCom). Disana, musik metal yang sempat singgah di pendengaran saya, lalu menghilang, lalu singgah lagi, dan menghilang lagi, akhirnya kembali singgah ketika saya menulis di DCDC sana. Ngga tahu kenapa meski DCDC tidak mengkhususkan menulis tentang musik metal, namun nuansa metal begitu kentara di media satu ini. Mungkin karena pemilihan warnanya yang serba hitam, orang-orang dibaliknya yang banyak ‘anak metal’, sampai beberapa event yang dibuat DCDC sering berhubungan dengan musik metal, termasuk Wacken Metal Battle Indonesia. Apa itu Wacken Metal Battle Indonesia? Kalian bisa baca disini.

Gelaran ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 2017, yang kemudian rutin digelar setiap tahunnya, sampai tahun 2019 (2020 & 2021 tidak ada karena pandemi yang melanda dunia). Saya sendiri mulai terlibat di acara ini tahun 2018. Bukan terlibat sih. Cuma lebih tepatnya kebagian bertugas meliput acara ini sebagai seorang jurnalis/reporter untuk menuliskannya di website DCDC. Tahun 2018 WMBI memberangkatkan Down For Life untuk bertarung di Wacken Metal Battle International, dalam gelaran Wacken Open Air, di Jerman. Down For Life sendiri menjadi band kedua yang menjadi wakil dari gelaran ini setelah sebelumnya Beside lebih dulu berangkat ke Jerman. Tahun selanjutnya, giliran Taring yang berangkat ke Jerman dalam gelaran WMBI 2019.

Dua tahun vakum, sampai akhirnya tahun 2022 ini WMBI kembali digelar. Dan ini bisa dibilang menjadi catatan cukup penting sekaligus absurd buat saya pribadi, di mana kali ini saya dilibatkan menjadi salah satu juri internal, sebelum menuju juri utama yang terdiri dari Aji ‘Down For Life’, Toteng ‘Forgotten’, serta Ryan Pelor. Penjurian internal memakan waktu kurang lebih dua bulan, di mana kita (saya, Karin, Addy Gembel, dan Ade ‘Muir’) menyeleksi sekitar 387 band yang mendaftar (Selamat buat Ludicia. Band asal Bali ini terpilih mewakili Indonesia untuk tampil di Jerman).

Momen ini menjadi sesuatu yang cukup berharga buat saya. Baik itu sebagai pencapaian saya menjadi jurnalis atau pun penghargaan dan kepercayaan teman-teman saya yang lain (khususnya Karin) terhadap saya untuk jadi bagian dari WMBI ini. Karena hal itu, masa masa saya ABG dulu ketika mendengarkan Slipknot kembali terbayang saat saya mendengarkan/menyeleksi band-band yang mendaftar di WMBI tahun ini. Betapa dulu musik metal pernah hadir di masa masa ABG saya sebagai sesuatu yang keren, serta tentunya relevan dengan darah muda yang katanya berapi-api ini. Musik metal bisa menangkap itu sebagai sebuah pemacu adrenalin yang menyenangkan.

Sedikit intermezo. Sepengalaman saya kenal dengan ‘anak-anak metal’ kebanyakan dari mereka banyak yang menjadi pribadi yang menyenangkan, santai, dan kalo istilah orang sunda mah bodor. Ya mungkin mereka menemukan pelepasan emosi yang pas dengan musik metal ini. Marah-marahnya cukup di panggung aja hahaha. Tapi ya lepas dari itu, agaknya musik metal memang akan selalu identik dengan sesuatu yang menyala. Baik itu untuk yang tergerak menyalakan hasratnya di musik semacam ini, maupun yang kembali menyala ketika merasakan dinamisnya musik semacam ini merasuk dalam aliran darahnya, sedaaap. Terapi energi lah kalo kata Saint Loco mah hehehe.

Jika band Serieus pernah berujar “daripada musik metal lebih baik musik jazz”, maka jika dalam perspectif saya hari ini kutipan itu akan menjadi “daripada cuma jadi musik, lebih baik metal jadi pemantik semangat yang menyenangkan”. Saya tidak begitu into sama musik metal, tapi selamanya metal akan selalu menyenangkan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar