Rabu, 27 November 2013

HAL KECIL YANG TIDAK BERARTI KECIL (PART 2)



Sepuluh tahun yang lalu, jaman ketika pop punk/melodic punk masih jadi pilihan wajib saya mendengarkan musik, saya suka sekali dengan lagu dari Nudist Island yang berjudul Radio ini. Sebuah lagu yang pada akhirnya membuat saya kepikiran “kayakanya asik juga ya kalo lagu sendiri bisa diputar di radio, dan didenger banyak orang”. Impian kecil sepuluh tahun lalu yang sempat saya kubur karena hampir skeptis dengan pilihan saya di musik, yang pada akhirnya di hari sabtu kemarin malah jadi kenyataan. Akhirnya saya bisa mendengar lagu band saya sendiri di radio. Dan bukan hanya satu lagu saja, radio itu bahkan memutar empat lagu dari band saya plus live interview dengan band saya selama satu jam, mengulas banyak hal tentang band saya. Silahkan bisa didengar disini obrolan ngalor ngidul kami. Dimana? nih disini nih


Foto By @bunngga

Sebut saja ini sepele bagi orang yang menganggapnya sepele, dengan penambahan kalimat “yaelah gitu doang bro”. Gitu doang yang buat saya ‘ga gitu doang’. Bisa bermusik, menghasilkan karya dan didengarkan banyak orang yang mengapresiasi, tentu itu bukan “yaelah gitu doang” buat saya. Ada satu bentuk penghargaan dari apa yang saya atau kami (band saya/tamankota) buat untuk kemudian disukai dan diapresiasi.

Ada orang yang berekspektasi tinggi dengan impiannya bermusik dengan ingin keliling dunia, album laku sampai puluhan juta copy, dan manggung dihadapan ratusan ribu penonton. Saya ga sampai pada pemikiran itu, meskipun mungkin jika sampai kejadian saya akan senang juga. Tapi saya pribadi ga mau dibebani ekspektasi yang ketinggian tentang apapun, karena saya ingin merasa senang dengan mudah. Bayangkan jika untuk bisa merasa senang saja saya harus keliling dunia dan manggung dihadapan ratusan ribu penonton dulu, maka akan sangat sulit sekali buat saya untuk bisa senang. Saya ingin bisa mudah untuk bisa senang. Cukup orang suka dengan apa yang saya buat dan semoga itu bisa bermanfaat, atau minimalnya bisa bikin orang lain senang, maka saya juga ikut senang.

Saya ga mau terbebani dengan ekspektasi apapun, yang pada akhirnya membuat saya terlalu berambisi mendapatkan apapun, sehingga melupakan sebuah esensi dari ‘simple life simple problem’, atau hal apapun yang pada akhirnya membuat saya tidak nyaman menjalani hidup karena sebuah tuntutan. Sebuah pemikiran yang berujung pada pemahaman tentang arti dari ‘nothing to lose’. Jika udah waktunya, jika udah ada rejekinya, maka semua bisa saja. Selama usahanya ada, maka semuanya akan sebanding dengan apa yang dilakukan. Saya sangat percaya jika apapun pasti akan sepadan. Ga ada satupun yang ga sepadan menurut saya. Semuanya tinggal nunggu waktu yang tepat saja.

Sampai pada akhirnya lagu dari band saya bisa berkumandang di radio dan sampai diapresiasi di luar negeri, tentu itu bukan tanpa sebab. Sampai kemudian ada seseorang dari Kanada yang mengirim email ke saya menyatakan ketertarikannya dengan lagu dari band saya, sampai dia tulis sedikit resensinya disini, tentu itu bukan tanpa sebab. Jika pada akhirnya ada saja orang yang bilang “yaelah band gitu doang bro”, tentu itu bukan tanpa sebab. Mungkin orang yang bilang “yaelah band gitu doang” itu ga tau gimana saya dan teman-teman band saya menempuh banyak hal yang ga enak. Bagaimana ketika saya menempuh berjam-jam lamanya dalam perjalanan meminjam bass buat manggung. Bagaimana ketika saya harus beradu argumen dengan ayah saya sampai harus keluar rumah, karena pilihan saya bermusik. Banyak hal yang saya nomor satukan atas nama musik.

Saya bukan seorang yang agamis atau sok suci dengan kualitas ibadah yang baik. Namun jika ini diartikan dari sudut pandang keyakinan akan Tuhan, saya percaya kebaikan Tuhan saya yang ga mungkin diam saja melihat saya dengan semua usaha saya. Balik lagi kalo semua hal pasti sepadan, dan tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Semua hal pasti akan ada hasilnya jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas jalaninnya. Klise sih ‘but fuck damn right’. Ga ada hal yang lebih baik dari menjalani apa yang kita percaya dan sukai, lalu kita ikhlas jalaninnya.

Tulisan ini dibuat bukan bertujuan untuk menyombongkan diri dengan semua yang sudah saya capai. Namun saya hanya ingin bilang jika apa yang membuat apapun menjadi mungkin adalah ketika kita meyakini itu menjadi mungkin. Kita adalah tergantung yang kita pikirkan. Bahkan ketika kita mulai lupa dengan apa yang kita inginkan, semesta dan alam bawah sadar kita menyimpan itu dan “Boom” menjadikan itu jadi kenyataan.

Ada masa dimana saya bergumam, “kayaknya asik juga nulis buat Rolling Stone”, dan “Boom” beberapa tahun kemudian saya dikirimi email dari editornya langsung yang tertarik dengan tulisan saya untuk dimuat di majalah tersebut. Dan sekali lagi, tulisan ini bukan bertujuan untuk menyombongkan diri dengan apa yang sudah saya capai. Tapi ketika pada akhirnya editor majalah tersebut tertarik dengan tulisan saya dan ingin memuatnya, maka itu bukan tanpa sebab. Ketika ada orang yang berujar “kok bisa? Kok harus si Wenky?”. Mungkin orang itu ga tau ketika saya harus jalan kaki menempuh jarak satu kilometer untuk bisa sampai di warnet paling dekat rumah saya hanya untuk ikut ngetik dan kirim email, karena saya ga punya komputer apalagi laptop. Hampir setiap malam saya membaca banyak hal dan nulis banyak hal sebagai pembelajaran untuk saya agar tulisan saya bisa bagus. Semua hal bukan tanpa sebab dan pasti sepadan dengan usaha yang dilakukan.

Banyak hal yang saya percaya yang pada akhirnya membuat saya ada dalam satu kesimpulan “semua indah pada waktunya”. Lagi-lagi ini klise. Tapi akan ada masanya sesuatu yang klise itu tidak bisa dibantah karena kenyataannya memang seperti itu. Memangnya apa yang membuat nama-nama seperti Thomas Alva Edison sampai Steve Jobs itu bisa begitu besar dengan semua yang mereka buat? Karena semua hasil yang mereka dapat sepadan dengan hal yang mereka lakukan. Ketika Thomas gagal menyalakan seribu lampu dan berhasil menyalakan satu lampu, maka seribu kegagalan itulah yang membuat Thomas tersenyum, ketika dia berujar, “coba saja saya berhenti di lampu ke seribu, mungkin satu lampu yang menyala itu ga akan ada”.

Sebelum pada akhirnya musik dan tulisan saya bisa diterima, jumlah penolakannya sepuluh kali lipat lebih banyak dari yang menerimanya. Kalau saya berhenti dan nyerah maka berakhir sudah semuanya, dan pada akhirnya saya mati jadi seorang pecundang, karena kalah oleh semua penolakan itu.

Mau jadi pecundang? Saya sih ngga.

(p.s tulisan ini untuk semua teman/orang-orang yang sudah support dan banyak membantu saya dalam banyak hal, yang membuat semuanya jadi mungkin. Terima kasih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar