Selasa, 03 Desember 2013

#Nowplaying Winamp - Pamit Undur Diri

Ada dalam masa peralihan mendengarkan musik dari bentuk fisik seperi kaset atau CD ke digital seperti MP3. Bagaimana ketika dengan mudahnya sebuah lagu didapat, didengarkan, dan dilupakan dengan begitu cepat. Ketika mendengarkan musik sudah tidak lagi menjadi ‘sakral’ dengan membuka kemasan kaset/cd, melihat artwork albumnya, membaca lirik di setiap lagunya, sampai membaca ucapan terima kasih ditiap sampul albumnya. MP3 membuat semuanya menjadi instan dan nyaris menghilangkan ‘isi’ dari setiap lagu yang diputar.


Menamakan dirinya winamp. Sebuah perangkat lunak yang memfasilitasi itu semua. Memfasilitasi lagu dalam bentuk digital MP3 sebagai media yang memutarkan sebuah lagu. Ada dalam setiap perangkat komputer di rumah yang menemani mengusir sepi dengan sajian lagu yang diputar. Atau ketika winamp hadir disela-sela tugas yang menumpuk dalam tugas pengetikan skripsi atau sebuah makalah yang dikejar deadline.

Winamp ada dan cepat menjadi primadona baru yang membuat mini compo dilupakan keberadaannya. Namun walau begitu, sebenarnya kehadiran winamp dianggap biasa saja tanpa makna yang mempunyai arti lebih, sejalan dengan lagu yang diputar begitu cepatnya, beralih dengan satu kali klik ke pilihan lagu berikutnya. Seperti ada dalam sebuah frase digital mendengarkan lagu, yang membuat sebuah lagu tidak dalam satu bentuk yang utuh. Play, klik next, lagu berikutnya dan begitu seterusnya.

Jangan berharap bebunyian detil dari winamp, apalagi jika sampai berharap menemukan esensi sebuah lagu dari bentuk prematur digital seperti itu. Winamp membawa pola pikir yang mulai beralih kepada pola pikir praktis dan terlalu menyederhanakan sesuatu. Membuat sebuah lagu hanya sebagai sajian suara latar saja, yang padahal sebuah lagu adalah sebuah cerita dengan segala macam estetika yang dibawanya.

Empat paragraf awal yang mewakili pola pikir saya lima tahun yang lalu, sampai beralih ke masa sekarang, ketika mempersoalkan bentuk konfensional dan digital adalah sesuatu yang sudah tidak lagi menarik untuk dibahas, winamp menyatakan untuk pamit undur diri. Membawa pergi memoar yang dibawanya bersama rasa kantuk dalam tugas menumpuk, ketika winamp ada mengiringi bersama lagu-lagu yang diputar. Ketika winamp ada menjadi saksi dengan suara musik yang sengaja dibuat pelan karena sebuah ‘dosa’ mendengarkan lagu kacangan olahan industri, yang sialnya malah bisa dinikmati dengan anggukan kepala. Ketika winamp ada dalam ruang diskusi ketika sebuah lagu diperbincangkan karena dianggap esensial. Atau bahkan ketika winamp ada menampilkan aksi #nowplaying para ‘hipster’ ketika pamer selera di dunia dalam twitter. Winamp ada menjadi bagian dari itu.

Seperti sebuah siklus berputar, yang pada akhirnya berakhir dengan titik awal yang sama. Mungkin begitu juga dengan pilihan mendengarkan musik. Ketika media untuk mendengarkan musik bermula dari piringan hitam, beralih ke kaset, CD, sampai MP3 (yang difasilitasi oleh winamp itu tadi), pada akhirnya orang akan bosan dengan bentuk lagu yang prematur hasil olahan digital itu, dan kembali kepada pilihan mendengarkan lagu dalam bentuk fisik (konfensional). Ini terbukti dengan mulai banyak lagi orang yang tertarik dengan rilisan fisik seperti vinyl atau kaset sebagai pilihan mereka mendengarkan lagu. Orang-orang mulai mencari dan menggali bentuk lagu secara utuh dengan hal esensial yang dibawanya. Semoga saja orang tertarik membeli rilisan fisik karena memang mencari bentuk utuh lagunya, dan bukan hanya mengikuti trend saja.

Ketika pada akhirnya winamp pamit undur diri, terganti ataupun tidak, toh nyatanya era mendengarkan musik secara digital itu ada sebagai bagian dari sebuah peradaban manusia dengan ragam hal menarik yang dibuatnya. Ataupun ketika mengartikan ini secara lebih sederhana, berterima kasih saja kepadanya, karena winamp tak memberitahu dunia ketika saya dengan fasihnya menyanyikan lagu Westlife yang diputar di winamp.

Sssst is our secret Win.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar