Sabtu, 05 April 2014

RUBIK (PART 1)

Sebuah rubik akan segera selesai dimainkan. Maka tersusunlah baris warna dan bentuk yang tertata rapih dan sama ditiap sisinya. Tapi dilema dan perang cambuk logika ada diantaranya, menjadikannya sesuatu yang ‘kompleks’. Mengutak atik persepsi, mengikuti atau membantah nalar. Apa ini akan berakhir dengan susunan warna dan bentuk yang seharusnya?

Seharusnya seperti apa? Bukankah tiap orang punya cerita dan cara yang berbeda? Maka bebas saja menjadi pemilik semua barisan derap langkah setiap nalar yang keluar, menguasai persepsi, akan kemana membawa ini, dan seperti apa rubik ini dimainkan.

***

Dari awal aku menulis ini, aku tahu jika di halaman terakhir di buku ini pun cerita belum selesai. Suatu hari dengan hari yang menyenangkan, hari lainnya tidak begitu menyenangkan. Datang dan pergi bergantian tak hentinya, sampai ini seolah tidak pernah selesai. Mungkin bisa selesai, tapi nanti. Kapan, aku tidak pernah tahu pasti. Semuanya memang tak pernah pasti, selain kematian yang tak bisa aku hindari.

Mungkin bisa tenang, mungkin bisa menang. Atas nama langit yang kukagumi karena luasnya tak bisa aku ukur, mungkin disana nantinya aku berada, mungkin disana semua jawaban berada. Diem bentar, bengong, dan……sudah sore.

Malam aku terpejam, pagi aku mulai lagi. Ketika nanti tak kutemui pagi. Mungkin itu.

Secangkir cerita bolehlah untuk sepenggal teh hangat kala senja. Hasil peraduan pikiran yang dihembuskan oleh kata, yang pada penerapannya mungkin bisa berarti adegan dalam sebuah drama cerita hidup, seperti apalah itu sebutan untuk cuplikan cerita bernama fragmen.

Berarti adalah sebuah prosa atau cerita seutuhnya. Bisa juga seperti sebuah potongan yang meminta untuk diteruskan ceritanya. Seperti halnya kalimat awal tanpa akhiran, atau kalimat akhir tanpa awalan. Kita bisa menemukan cerita kita seperti apa, dengan ambiguitas yang terlukis beriringan dengan jawaban untuk setiap pertanyaannya. Jika kita bisa menemukannya tentu saja. Menyadari kita itu apa, seperti apa, harus bagaimana menjalani dan memainkan Rubik ini.

***

C

C adalah creator. C terlalu egois, sedang aku terlalu dramatis. Banyak kebijakan dari C yang aku tanggapi secara dramatis dan berlebihan, sampai cerita ringan tentang picisan saja bisa sangat mengganggu ketenangan aku dalam berpikir. Aku benci ketika aku menjadi terlalu perasa dan peka. Terlalu bisa merasakan sedih, terlalu bisa merasakan sakit. Lalu kemudian diam seperti saat ini, seperti sebuah ironi dalam stagnasi perputaran chord dan padanan melodi gitar dalam musik kacangan produk industri. Mengintrepetasikan gelisah lewat sebuah doa yang disuguhkan dengan kegamangan secara satir dan menghardik. I love you God. Jadi beri aku alasan untuk mencintaimu lebih.

Lagi-lagi menghela nafas panjang, lagi-lagi baru inget Tuhan. Ini klasik. Sebut saja ini sebuah part bengong dengan tatapan ke belakang, tentang banyaknya kesalahan yang aku buat. Alibi mengejar mimpi selalu jadi alasan ketika aku seperti melakukan sesuatu, tapi sebenarnya tidak. Ini kosong, ini bohong, kata diriku yang lain di pemikiran yang lain. Kamu belum berubah, kamu belum seperti yang Tuhan inginkan. Terus saja diriku yang lain di pemikiran yang lain mengingatkan aku.

Baiklah jadi selanjutnya?
Lalu aku berpikir keras, dan masih saja kosong.
Malu ya kamu? Iya, kataku, yang memang seharusnya malu.

Maka segeralah sembuh, mengubah aaargh menjadi pararampam. Karena cemberut itu melelahkan dan tersenyum itu menyenangkan, karena mengeluh itu menyebalkan dan bersyukur itu menenangkan. Seperti siklus dan trik licik dunia yang mencoba menggoda untuk mengeluh dan menyalahkan Tuhan. Apakah mau jika sampai terjebak di dalamnya?

Setelahnya aku tertidur dan bermimpi. Tapi tidak dengan tanganku. Ia terus saja menulis dan menceritakan mimpi yang aku alami. Tapi lalu tanganku berhenti menulis, karena aku lelah bermimpi. Aku mengeluh kembali. Aku lelah berharap tentang sesuatu yang ideal itu datang. Sudahlah tangan, mari kita tidur dengan kekosongan, dan semoga kita tidak terbangun. Tidak terbangun dengan hari yang masih saja sama, sama datarnya, sama membosankannya.

Dengan caranya sendiri, sebuah mimpi bisa mempersembahkan kompilasi track list lagu patah hati dari sudut absurd sebuah rasa. Mengikut sertakan putih nurani dan makna tulus dari sebuah hasrat yang tersakiti.

Dari hasil voting pemirsa televisi mimpi, aku diberi kesempatan menyanyikan salah satu lagu dari kompilasi track list itu tadi. Lagu itu diberi judul Hezel. Bercerita tentang tokoh fiktif dari dasar hati yang tidak terjamah sapaan hangat sang pemilik hati. Lalu Hezel muak dan ingin pergi, sampai pada akhirnya sang pemilik hati dibutakan dengan apa yang tampak indah secara kasat mata, bukan oleh rasa.

Namun mimpi adalah tentang ironi yang membawaku kembali ke dalam realita. Menyuruhku untuk berhenti hidup di dalamnya, berhenti berpikir dengan imajinasi, berhenti bermimpi tentang tepuk tangan, berhenti bermimpi tentang hingar bingar, berhenti bermimpi tentang sorot lampu panggung yang memancar terang.

Begitu juga dengan rentetan repetisi kata maki yang hadir diantara kerinduan sebuah tawa lepas, yang biasanya hadir menyeruak di sebuah ruang keluarga. Sepuluh tahun yang lalu, ketika keluarga ini belum mati. Memasuki dekade berikutnya di fase intonasi sebaliknya dari ‘happy means to me’, dan diwarnai skenario drama realita yang selalu punya cara untuk menghancurkan mimpi, karena ending-nya selalu seperti ini : ngelamun, ngerokok, dan ngerasa bersalah atas batas norma yang dikalahkan kontra logika. Suatu kesalahan yang cukup besar untuk dimaafkan, tapi hebatnya alibi untuk mengalihkan seakan benar untuk dimasukan nalar, dan benar berarti musuh terbesar adalah diri sendiri.

Kenapa harus ada semacam palang pembatas untuk semuanya itu? Dihadapkan pada doktrin realistis yang selalu saja bertentangan dengan hati. Episode dua puluh lima tahun dalam hidup dan masih belum menemukan titik happy ending. Ngerasa ‘dont know what to do’, flat, dan meaningless. Tapi kan katanya Tuhan tidak akan membawa kita sejauh ini hanya untuk dia tinggalkan. Atau mungkin kiranya waktu belum juga mau berpihak untuk membuatnya tampak mudah memunculkan sebuah nama ke permukaan.

Aku hanya ingin perjalanan ini cepat sampai. Dengan sorot lampu panggung yang memancar, riuh tepuk tangan bergemuruh, memecah sunyi yang biasanya jadi bagian dari kegelisahan dalam kamar tanpa lampu. Aku hanya ingin perjalanan ini cepat sampai. Dengan teriakan parau nyanyi-nyanyian yang memekik sebuah pencapaian kemenangan. Juga dengan semua hal yang nantinya adalah gambaran sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Aku ingin ini disaksikan ibu yang duduk di deretan paling depan, dan ayah menyaksikannya di surga. Semoga dia akhirnya bisa tersenyum.

Seperti ketika dia memintaku untuk sekolah yang benar, dan jangan dulu banyak bermimpi tentang gemuruh tepuk tangan dan panggung yang besar. Karena menurutnya sekolah itu penting, belajar yang benar, fokus, agar aku bisa membuatnya senang dan bangga. Tapi sayangnya aku tidak melakukannya. Terjebak dengan mimpi-mimpi masa kecil, terjebak dalam ‘keukeuh’ yang justru akan membawaku di situasi menyebalkan saat ini, saat menulis ini. Tanpa sorot lampu yang memancar, berujung sepi tanpa lampu sama sekali.

Waktu menjadi yang paling aku persalahkan, padahal sebenarnya waktu tidak salah. Lalu Doraemon lah disalahkan, kenapa pintu ajaib dan mesin waktu itu tidak benar-benar ada.

Ayah adalah yang paling aku hindari ketika itu, karena aku tidak suka didikte ataupun disalahkan. Tapi sekarang aku butuh dia. Ibu terlalu baik, sehingga apapun kesalahanku, selalu dimakluminya. Aku butuh ayah sebagai sosok yang bisa memarahi, agar aku tau diri. Namun sayangnya dia telah pulang ke rumahnya.

***

Setelahnya. Setelah semua pemikiran tentang itu tadi. Aku ada pada satu keadaan ketika kenyamanan tentang rumah yang teduh dan nyaman harus terelakan dengan keharusan aku keluar rumah. Aku tak suka keluar rumah, karena rumah terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Tapi kiranya terlalu lama merasa nyaman di zona aman, tidak baik juga ternyata. Beberapa kali mencoba membuka pintu dan berjalan keluar, dan selalu tak semudah itu. Padahal rumah hanya menyisakan ibu yang masih hidup dalam sebuah senyum. Sisanya lifeless dengan fase diamnya. Semoga saja matahari cukup hangat untuk bisa membuat mimpi menapaki jalannya. Menapaki hari, ketika aku harus keluar rumah untuk membeli senar gitar demi kelangsungan melodi satir yang aku mainkan. Aku harus bernyanyi untuk mengusir sepi ini. Harus, karena itu lebih baik dibanding dengan menyalakan televisi untuk mengusir sepi. Maka dari itu, gitarku itu harus aku mainkan untuk mengiringi aku bernyanyi.

Tentang dunia luar itu sendiri, benar saja jika di luar itu panas dan berdebu. Mematahkan teori lotion pemutih anti matahari seperti dalam iklan di televisi. Karena usang adalah nyata adanya, ketika aku tidak berada dititik nyaman senderan kursi empuk sebuah mobil mewah.

Maka mulailah aku dengan panas, debu dan peluh. Terjebak diantara banyaknya typical orang yang memaki. Terjebak diantara bunyi klakson yang semakin mempertegas carut marut sebuah potret negara besar yang susah diatur, karena mungkin setiap orangnya menganut paham ideologi nol besar, yang dimana ego tiap orang adalah tuan bagi dirinya.

Dengan berbagai pemikiran yang mengudara bersama asap knalpot hitam yang mengotori langit biru, tak terasa ternyata hari sudah sore. Menghadirkan gradasi sendu dan cahaya yang sayu. Sayang sekali tidak ada obrolan ringan dan teh hangat, apalagi taman dan nyanyian innocent dari siapapun yang menyukai swedishpop. Terlalu ideal mungkin, jadi Tuhan tidak suka. Karena kan menurutnya ideal itu surga, dan surga adanya nanti. Ini masih sore, belum akhir dari hari. Masih ada malam dan larut malam. Bermimpi saja dulu, siapa tahu itu jalan menuju tidur panjang.

Namun sebaiknya bersyukur saja dengan hujan di sore hari ini. Karena hujan selalu bisa membasuh peluh dengan teduh. Aroma debu yang tercium setelah tersapu hujan sore ini begitu melegakan. Istirahat sejenak setelah sekian lama bergelut dengan panas dan hantaman debu terhadap peluh.

Di sore ini, hujan pada akhirnya bisa meredakan semua ketakutan terhadap panas yang menghantam raga, ketika raga sering dijadikan tameng atas hati yang rapuh. Meneduhkan emosi atas banyaknya kata maki yang terucap di kala siang, panas, dan macet.

Namun sore ini bisa juga tentang kita yang akhirnya bisa bercerita, tertawa, melepas lelah, dan berteduh setelah siang yang terik. Lalu bagaimana pagimu? apakah masih terasa sejuk? Bagaimana siangmu? apakah masih terlalu terik?, dan apakah debu-debu itu masih selalu menghantam mukamu yang penuh peluh? Mari bicarakan disini, saat ini, sore ini.

Kau boleh melonggarkan dasi yang mengikat erat di kerah bajumu. Dengan segelas teh hangat dan lelucon garing yang hanya kita yang bisa mengerti, maka kita mulai melupakan siang yang terik dengan debu yang menghantam peluh. Setidaknya kita masih punya beberapa jam sebelum malam. Maka cukuplah kita hanya bercerita yang menyenangkan, dan keluh kesah sudahlah lupakan saja, jangan sampai menggangu sore ini. Tertawa saja teman jangan sungkan, pancarkan binar matamu, biar aku ingat dan aku simpan sebelum malam. Karena malam biasanya terlalu gelap untuk aku melihat senyumu, terlalu gelap untuk aku melihat arah pandangan matamu ketika aku bercerita.

Sore ini seharusnya menjadi milik kita. Karena pagi biasanya menjadi milik bos mu yang memintamu untuk datang tepat waktu, membuatmu selalu berpacu dengan gerutu karena merasa malamu belum cukup panjang untuk menyambut pagimu. Begitu juga dengan siangmu yang biasanya menjadi milik kekasihmu, ketika dia memintamu untuk menemaninya makan siang, membelai rambutnya, dan menggenggam tangannya. Sore ini seharusnya menjadi milik kita. Sebelum aku atau kamu yang pergi.

Nanti.

(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar