Minggu, 06 April 2014

RUBIK (PART 2)

Dalam hujan sore ini, ketika sebuah jawaban akan kerinduan yang berkata betapa teduh itu menyenangkan. Karena seperti judul lagu saja, ini bulan November (dan) hujan. Menyajikan sendu dengan irama keroncong dari perut yang sebenarnya sudah makan, tapi mungkin karena hujan, jadi lapar (lagi).

Track list lagu-lagu smooth jazz bolehlah sebagai pengantar lamunan beberapa tahun ke belakang tentang tahun-tahun sebelum tahun ini, tentang November sebelum November tahun ini, dan sama saja sepertinya. Hanya saja sekarang kesendirian itu ada dalam artian selain roman picisan. Terasing dalam ironi dan tafsiran beberapa kalimat sinis yang jadi perdebatan antara aku dan banyak diantara aku, yang membuat aku menjauh dari seharusnya aku berada dalam keramaian. Seperti kalimat di film Gie yang berbunyi “lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan”, yang aku pikir secara tidak langsung ada relevansinya dengan aku. Sering ngerasa ada di lingkungan yang salah, temen yang ga nyambung dan endingnya pasti gini, jadi terasing dan diam dalam renungan.

Aku tidak berusaha untuk jadi seorang ‘idealis’ dengan sudut pandang ideal menurutku. Tapi aku hanya mencari kenyamanan dan beberapa alasan agar aku tersenyum tulus tanpa hahahehe yang membingungkan. Juga bukannya aku tak menghargai pertemanan antara aku dan teman-temanku selama ini, tapi tatapan merendahkan mereka itu begitu menyudutkan aku sebagai seorang ‘minor’ yang ‘meaningless’.

Diam dengan berbagai analogi seorang pemimpi, hanya peranan kecil di kehidupan masa kecil yang dengan gampang mampu menerjemahkan ilusi. Fase setelahnya adalah membosankan, karena paradigma tak dibentuk olehnya sendiri, tapi dengan replika orang kebanyakan dan pencitraan yang babibu itu. Isi dari hati terkotori ambisi dan amunisi yang siap kapan saja menjatuhkan. Siapa saja, ya siapa saja.

Sepi dalam ideologi itu memang tidak enak. Tapi ada dalam keramaian yang menjadikan aku jadi seorang yang palsu juga bukan merupakan jawaban atas ironi itu tadi. Lalu kemudian hening dalam sebuah perjalanan menuju mimpi. Satu-satunya tempat yang nyaman untuk ditempati.

***

Setelah sore berakhir dan berganti malam, lalu apa lagi? Sebuah kata tanya menghantarkan sebuah awal gumaman malam ini, sebelum nanti suntuk benar-benar datang. Keresahan lagi, kegelisahan lagi, berasumsi lagi, utak-atik persepsi lagi. Kapan tubuh ini akan merebahkan beban di titik nyaman? kapan semua keluhan ini bisa aku bungkam? kemana nyanyian ini akan aku tujukan? kemana cerita ini akan aku curahkan? Kemana teman? Kemana saja kau?

Tadinya aku mau mengajakmu pergi. Aku bosan teman, sungguh ini aku rasakan. Biasanya kita menertawakan Charly. Iya, Charly dengan rambut dan antingnya itu. Biasanya kita berbagi rokok, makanan, atau apapun.

Kau kemana? Aku bosan teman. Apa pertemanan ini akan semakin memudar? Ketika kita tidak lagi menertawakan hal yang sama. Seperti halnya dulu kita pernah hebat dengan masa belia kita. Tapi kemudian aku lelah dengan dunia, dan kamu? Kamu beneran masih bisa menikmatinya?

Sampai pada suatu waktu kita ada di ujung jalan batas persamaan paradigma. Lalu kita berseberangan dalam persepsi dan ideologi kita. “You've got your own, me too”. Aku pikir aku tidak perlu mengubahmu, begitu juga kamu. Yang aku sesalkan adalah sikap kerasmu yang berpikir jika yang tak sejalan denganmu maka jadi musuhmu yang kamu benci. Tapi tidak menurut aku. Pengalaman dan pelajaran hidup yang kita alami pasti berbeda, jadi wajar saja jika pandangan kita tentang hidup pun berbeda. Sudahlah jangan terlalu serius menanggapi dunia dengan bla bla bla nya itu. Kamu bisa meringkas persepsi dengan senyum, nyanyian atau just being simple aja. Lebih baik kayaknya.

Orang yang tidak sejalan itu pasti akan selalu ada. Seperti hitam dan putih sebelum menjadikannya warna abu, seperti pagi dan siang sebelum menjadikannya sore, seperti kita atau apapun itu. Seharusnya kita bukan dari bagian dari fanatisme pemuja ideologi sudut pandang pribadi. Sesekali kita coba untuk bercerita dan berbagi tawa. Mungkin itu bisa jauh lebih baik dari fase diam kita selama ini.

Seperti kita yang berarti aku, kamu, dia, dan kalian ketika itu, ketika aku tak punya cukup waktu luang untuk sendiri seperti ini, saat menulis ini. Sepi dalam ego yang menjauhkan kita dalam persepsi. Apa mungkin kita nya saja yang terlalu peka? Kita terlalu peka atas apa yang pernah terlontar diantara argumen kita. Membuatmu dan lainnya berpikir jika aku bukan seorang teman yang baik.

Membingungkan memang atas sikap pasif kita belakangan ini. Ada dalam fase diam dengan ego yang mengalahkan segalanya. Aku minta maaf. Semoga takdir mempertemukan kita kembali dengan kesombongan di masa belia kita yang indah.

Aku ingat dulu kita sering berpikir tentang apa gunanya seorang motivator? jika kita bisa dengan mudahnya menjadi seorang illustrator, atas garis dari sebuah rasa yang disampaikan lewat imajinasi di persinggahan setelah mimpi. Jika kita bisa dengan mudahnya menjadi seorang konduktor dari pagelaran music theater of mind yang mewakili bunyi dari sudut di dasar hati. Harusnya menjadi apa yang di kehendaki tanpa harus digurui. Kecuali Tuhan, karena seni adalah miliknya.

Sampai kemudian Tuhan menitipkan lagu ‘Creep’ untuk Radiohead mainkan, yang kiranya bisa mewakili isi dari hari ini, ketika isi lagu itu menghantui dalam setiap kali aku mencoba menegakan kepala. Aneh sih sebenernya. Mengejawantahkan nyali yang sulit sekali terlukis dengan garis yang sebenarnya bisa diurutkan ditiap warna-warna yang terurai. Tapi ya itu, ‘self esteem’ rendah, yang merupakan representasi dari diri dan selalu saja bersembunyi itu tidak mau memerankan peranan lain. Seakan betah menjadi nothing.

Tapi lepas dari semua itu, aku selalu berpikir jika ketika orang lain beranggapan aku adalah pribadi yang baik, sebenarnya aku tidak benar-benar baik. Ketika orang lain beranggapan aku adalah pribadi yang buruk, sebenarnya aku tidak benar-benar buruk. Jadi jangan menilaiku, biarkan aku dengan kebaikan dan keburukanku. Ketika aku menangis, sebenarnya aku tidak benar-benar bersedih. Ketika aku tertawa, sebenarnya aku tidak benar-benar gembira. Jadi jangan menilaku, biarkan aku dengan kesedihan dan kesenanganku.

Aku hanya ingin kamu ada, cukup merasa dan jangan berkata. Hanya temani dan jangan selami. Jangan coba jelaskan, aku suka kebingungan ini. Jangan coba sembuhkan, aku suka kesakitan ini.

Seperti halnya ketika aku bercerita. Aku tidak peduli apakah dia dan dia lainnya akan mengerti atau tidak dengan yang aku ceritakan. Aku hanya ingin bercerita saja. Tapi jika dia bisa mengerti, maka aku akan menyebutnya teman, karena teman bisa mengerti. Ketika aku bernyanyi, aku tidak peduli apakah dia dan dia lainnya akan menikmati atau tidak. Aku hanya ingin bernyanyi saja. Tapi jika dia menikmati, maka aku akan menyebutnya teman, karena teman bisa bersama berbagi, menikmati, dan membuatku ingin terus bernyanyi.

Atau mungkin ini akan berakhir dengan aku yang menyakiti, atau dia yang menyakiti. Jika sudah seperti itu maka mejadi sendiri akan menjadi pilihan untuk menghabiskan di sisa waktu terakhir.

Sebelum C membawaku pergi.

(Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar