Senin, 07 April 2014

RUBIK (PART 3)

BRAAK!!

Sialnya aku masih disini dan belum pergi bersama C.

Aku kembali duduk dan melamun. Menyapa memoar yang aku ingat kala itu. Tentang seorang perempuan yang menari-nari bodoh di tengah hujan. Untuk sejenak aku senyum mengingatnya. Mengingat perempuan yang bahkan tidak aku kenal secara selayaknya. Cara kita berkenalan juga tidak dengan berjabat tangan. Aku tertarik begitu saja dengan ciri yang dia tawarkan. Dengan jerapah dan ikan hiu, dengan celana dalam diatas kepala, membuatku bertanya siapa dan lucu juga. Dengan kelucuan yang dia punya, dengan cara dia menangkap gaya, membuatku ingin menyapa “Hallo Marcia”.

Seorang perempuan yang aku katakan padanya jika dia adalah sela-sela diantara sela-sela jari yang aku genggam. Sebelah kakiku hilang, sebelah mataku hìlang. Kamu ya?
Hatiku hilang, diambil dengan manis secara utuh. Kamu ya? Dasar pencuri, kataku sambil tersenyum. Bertanya adakah putri berbaju kusut belum menemukan pangeran kusut? Mari tertawakan hal bodoh lainnya. Menolak tua, dewasa, dan membosankan. Aku juga suka hari sebelum malam, ataupun malam sebelum tidur. Mari ceritakan hal bodoh lainnya. Menolak tua, dewasa, dan membosankan.

***
Tapi kemudian ingatan beralih cepat dengan cerita lainnya yang tidak begitu menyenangkan tentang dia, yang membawaku berada di bawah bayang-bayang masa lalunya. Sehingga membuatku ingin berujar jika kiranya masih terjebak di masa lalu jangan dulu berkata “hey i'm ready for today”. Selesaikan dulu cerita yang belum terselesaikan, jika itu memang belum selesai.

Aku akan menunggumu di masa kita sekarang, dan menyambutmu ketika engkau selesai dengan masa lalumu. Aku bukan bagian dari masa lalumu yang menjebakmu dalam pikiranmu tentang sebuah kenangan diantara kamu dan entah siapa.

Aku adalah orang baru yang sedang mencoba membangunkanmu untuk kemudian tersenyum dan siap menghadapi hari ini. Bersamaku akan jelas berbeda dengan orang-orang sebelum aku. Kamu adalah kertas kosong dan aku adalah pena yang akan memulai menggambar sesuatu untuk hidupmu, mulai menulis dan bercerita untukmu, dan hey sudah selesaikah dengan masa lalumu? Jika iya, tolong sambut tanganku, aku akan membawamu berjalan-jalan mengitari masa sekarang.

Jadi kamu mau?, kataku ketika itu.

***
Sebelum ada dalam perbincangan rindu yang memuakan, teruntuk dia yang menyalahkan sistem kepemilikan atas rasa yang lengah yang disinggahi pelangi. Membuat mentari redup dengan sinarnya yang mulai soak. Pembiasan tentang alibi ego pribadi yang menurutnya benar adanya, dengan terdiskreditkannya sebuah hati yang rapuh olehnya.

Ah tapi namanya juga manusia. Kalau tak terasing dalam paham sinis seorang yang logis, ya berarti konsekuensi hati yang teriris. Karena konteksnya sendiri miris dengan ilusi yang teriritasi oleh gambar kenangan tentang senyum, yang sebenarnya mungkin saja itu palsu.

Tapi sudahlah, orang mungkin bisa berubah. Bisa jadi lebih baik, bisa juga sebaliknya. Ga ada satupun yang pasti, apalagi abadi. Selama konteksnya masih dunia, janganlah berharap berlebih tentang mimpi-mimpi. Tidur saja dulu.

Tepatnya tidur untuk terbangun. Beberapa kali diantaranya, aku menjadi lelah dan ingin rebahan di atas awan yang memanjakan. Dari atas sana aku melihat, nyatanya masih saja warna-warni yang terurai menjadikannya narasi cerita tak berkesudahan. Mungkin akan berakhir, tapi nanti. Kapan? Dua tujuh mungkin. Kalaulah lebih dari itu mungkin aku telah jadi orang lain.

Sampai pada suatu hari dengan pagi yang baru aku terbangun. Akhirnya langit ini aku tempati. Maka yakinlah jika ini lebih baik. Putih dan biru memanjakanku dalam rebahan panjang dalam sebuah cerita akhir. Tapi jika saja semua keinginan itu terlalu bagus untuk diwujudkan, jika semua harapan itu terpatahkan, lalu untuk apa aku bermimpi?

Maka diam saja sembari mengubur semua kepingan harapan. Mungkin memang dunia bukan tentang apa yang diinginkan, tapi tentang apa yang dijalani. Ketika langit yang dikagumi akhirnya ditempati, mungkin itu. Ketika akhirnya lelah terhapus oleh awan yang menopang tubuh untuk rebahan, mungkin itu. Ketika cahaya agung menyapa, mungkin itu. Setidaknya itu lebih baik dibanding terjaga dengan atau justru bermimpi tanpa tertidur terlebih dahulu.

***
Tentang aku yang menjadi skeptis atau pesimis tentu bukan suatu keinginan. Karena inginnya sendiri bisa optimis. Tapi nyatanya “no hope no pain”. Gitu paling. Selebihnya membiarkan berjalan begitu saja, terserah waktu membawanya kemana. Tapi aku sih ga mau lama-lama. Mungkin akan pergi di dua tujuh. Untuk apa berlama-lama dengan sebuah replika bernama dunia? Karena pada dasarnya ini hanya singgah, ya sudah.

Mungkin memang kepasrahan dan keikhlasan itu adalah jawaban. Mempersilahkan apa saja menimpa. Larut dalam doa kadang hanya berbuah keheningan tanpa jawaban yang diharapkan. Untuk hal ini, aku jadi awam kepada dzat yang mengabulkannya. Untuk apa bersimpuh? nyatanya kau tidur. Dewa raja-raja. Ah aku takut jadi seperti itu.

Jika saja bisa lebih dari sekedar asumsi, kiranya ini tak sekedar jadi selayang menerawang jalan yang harus kutapaki. Tapi aku benar-benar berjalan dengan kerikil yang kuinjak sekalipun. Menggenggam pasir yang berjatuhan diantara celah tangan, dan bener saja jika aku masih tertidur dengan mimpi yang masih saja sama. Aku terbangun hanya untuk mengiyakan itu. Diem bentar, bengong, terus doa. Juga masih dengan doa yang sama. Semoga, semoga, semoga.

Kunci kebahagiaan hanyalah tentang keikhlasan. Kalau ga ikhlas ya kesel, kalau kesel ya cape. Kalau udah cape duluan, kapan bisa ngasih waktu buat logika agar tenang? kan katanya pengen tenang. Maka ikhlas saja. Tidak ada cara lain selain itu. Dibelahan bumi manapun aku berpijak, hanya untuk aku tinggalkan. Walaupun aku tahu susah untuk bisa mengerti dan mengakhiri ini jika nyatanya aku masih berpikir. Apapun, tentang apapun.

Tentang hal lain dari dunia, tentang satu tempat dimana aku biasa singgah dan melarikan diri dari realita. Sebut saja utopia. Tempat yang aku pikir bisa membuat aku keluar dari tekanan dunia dan orang-orang didalamnya. Tapi nyatanya ga bisa dan ga harus nyari utopia. Ga akan, dan ga mungkin juga realita dipenuhi orang baik semua, dengan tiap hari yang dijalani selalu saja indah terus. Mau kalah? Terserah sih. Dor dor dor. Mati. Terus apa? Apa yang didapat?

Padahal harmoni nyatanya lebih indah meskipun kontradiksi bersebelahan dengan keyakinan akan sebuah pembenaran. Tidak mungkin juga mensabdakan sesuatu untuk sebuah angguk setiap orang. Maka tenang saja sampai kebenaran itu muncul ke permukaan. Nikmati saja realitanya. Mencari utopia berarti melarikan diri dan kalah.

Realita memang tak menghendaki aku untuk bisa terbang dengan sayapku sendiri. Pun begitu dengan harapan yang selalu bisa dipatahkan. Tapi jika masih bisa berdiri setelah sakit itu kulewati, maka aku telah menang. Pasrah kepada hal yang tak bisa dimiliki juga bukan berarti kalah, tapi menang atas ego sendiri, menang dari hasrat dan ambisi. Ga ada ruginya mengalah untuk bahagia nya orang lain toh. Bahkan Elora yang aku reka pun pada akhirnya kembali ke halaman buku dimana dia seharusnya berada. Nyatanya hidup memang untuk berjuang sebelum pulang.

***
Niat mau tidur diurungkan untuk ini. Mungkin bisa jadi yang terakhir sebelum memang semuanya berakhir. Tentang siklus naik turun, parade kalimat beruntun tentang rasa pesimis dan optimis dalam satu bingkai cerita yang sama berselang menit. Parade deretan kalimat yang menyesaki ilusi. Kalimat yang pernah terlontar ketika dulunya adalah apa yang bisa digambarkan oleh romansa kepada kata. Tapi romansa hanyalah tentang Gibran yang terlalu banyak waktu luang untuk berasumsi tentang itu. Jadi ga ada artinya lah. Tapi lumayan menganggu, karena kalimat per-kalimat yang terdengar masih menyertakan gambar kenangan yang mewakili setiap kata yang terlontar.

Bagaimana seharusnya lupa?

Menjadi dangkal dengan aku yang masih belum sampai pada titik kalimat penutup dan satu kesimpulan. Maka biarkan hari-hari tercipta seperti sebelum dan sesudahnya. Tak ada yang benar-benar pasti. Berlaku baik saja toh karma baik itu memang ada.

Menyesal dengan semua kesalahan lalu. Iya. Tapi tak bisa terus mengutuk diri, karena waktunya sendiri sudah lewat dan tidak bisa diulang. Jadi bersyukur saja atas apa yang terlewati, pengalaman dan pelajaran yang berharga. 

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar