Selasa, 08 April 2014

RUBIK (PART 4)

Sedang mencari senang setelah enam hari menjadi orang palsu. Lalu stuck di jalan karena terlalu banyak orang dan kendaraan berlalu-lalang. Mau-maunya diperbudak berhala. Maka bernyanyi saja. Bagus atau sumbang, toh gitarku tetap saja mengiringi. Dia ga pernah ngeluh, apalagi sampai menyerah. Tidak seperti…tik...tok...tik...tok...tetoot… ya…regu B.

Jika ada begitu banyak pilihan, mengapa harus bergantung pada satu pilihan? Untuk satu hal itu boleh kok jadi apatis. Selain itu berempati lah. Tapi hati-hati, sebelum empati itu yang akhirnya bisa membunuhmu. Ga bisa terlalu naif juga. Seperti perpaduan asap rokok dan kentut yang walau memang aneh, setidaknya sebelum menjadi terbuang, bolehlah. Setelahnya kan memang untuk dilupakan. Rokok habis, beli lagi. Kalau kata temen sih istilahnya bakar uang.

***
Padanan yang tepat untuk sebuah argumentasi melodi harusnya dengan secangkir kopi dan ilusi yang terpampang bersama hujan. Melukis rintik gerimis yang jatuh berdenting diatas genting. Dulu, sebelum ini menjadi terlalu hambar untuk seteguk kopi pahit dan kecemasan seperti ini. Ketakutan akan sebuah sarkastik yang menukik pada sebuah asumsi.

Apa yang membuat ini seolah tak terperi? Damai perangai dawai adalah yang bisa digambarkan dari sebuah senandung senja. Seharusnya. Lalu ini akan berakhir seperti apa? Kenapa hati bisa terkotori seperti ini? Menjadi benci. Sangat benci.

***
15.51 seperti biasa, ketika tuhan maha besar dikumandangkan oleh suara parau sang muadzin. Setidaknya itu lebih baik dibanding ingatan yang parau. Selalu resah oleh gundah, yang seharusnya tidak. Sampai malam berganti pagi dengan ekspektasi, lalu kemudian berujung pada pertanyaan tentang kebaikan absolute yang tak juga menghadirkan artiannya jadi sesuatu yang nampak, dan menjadi ruang lingkup nalar yang berusaha untuk menjawabnya.

Seperti apa setelahnya akan berjalan?

Harapan yang terpatahkan dan keinginan yang tak sesuai dengan garis hidup. Kemenangan atas kebesaran hati, dan kekalahan akan sebuah hasrat, pada satu jam bersamaan dalam renungan.

Pada akhirnya kualitas diri ditentukan dari caranya menyikapi kecewa. Karena ini bukan sebuah pertanyaan, maka jangan bertanya kenapa untuk sebuah pelajaran tentang hidup. Lagi-lagi waktu jadi sebuah jawaban yang masuk akal untuk sebuah kebuntuan seperti ini. Jika sudah waktunya, semua bisa saja.

Termakan asumsi yang berteori tentang apa yang dijalani, bukan tentang apa yang diinginkan. Jadi seperti, yaudah terima saja, sabar. Untuk sesuatu yang ideal itu memang harus dicari. Tapi mencari itu melelahkan. Sampai dimana batas kompromi itu semacam jawaban atas sebuah pertanyaan kenapa, maka akan jadi susah untuk memberikan perlawanan atas sebuah interupsi. Mungkin hanya aku yang tahu siapa aku. Sayangnya aku cuma satu. Kalaupun lebih dari itu, aku tak mau dengannya. Aku tau aku itu menyebalkan, serupa bipolar disorder dalam bingkai perang pada waktu. Berujar sendiri, dibantah sendiri. Aku pada aku adalah dialog yang menyamar pada senja dan obrolan. Diantaranya gelas yang rapuh tersapu lembayung, dan praaak pecah. Entahlah apa iya bunyi gelas pecah seperti ‘praaak’. Yang jelas tanganku luka terkena serpihan belingnya. Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan sunyi yang membawaku pada waktu yang membelenggu, dan bergumam bosan karenanya.

Lalu tentang ekspektasi yang nyatanya bisa jadi lebih berbahaya dari apapun untuk sebuah kenyamanan berpikir. Sesuatu yang berhubungan dengan perasaan hendaknya tak dikaitkan dengan pemikiran. Seperti sebelumnya, bermusik itu sangat menyenangkan. Ketika sampai pada titik pemikiran ingin dipuji dan dianggap hebat, jadi tidak asik lagi. Ekspektasi dalam komposisi berpikir pada rebahan pagi ini, itu yang membuatnya jadi tak begitu indah, karena terbebani berbagai harapan dan keinginan yang bla bla bla itu. Padahal dengan sinarnya saja matahari sudah sangat baik, dengan cahayanya yang memberikan kehangatan dalam secangkir teh yang aku minum.

Apalagi memang yang diharapkan selain kenyamanan berada dalam sebuah teras rumah, yang tak sekalipun dia mengeluh karena sebuah keluhan. Janganlah berharap dan mematahkan sendiri harapan yang dibuat. Setidaknya kita butuh kenyamanan berpikir tanpa ekspektasi. Jalan saja. Toh jika pada prosesnya baik, hasilnya juga akan baik. Pun sebaliknya.

***
Ada dalam sebuah perjalanan menuju tidur, setelah semua kelelahan yang menerpa seharian terhadap tubuh yang mulai rapuh, karena terlalu sering terkikis kenyataan yang bertolak belakang dengan harapan. Lebih dari 100km/jam dipacu dengan tarikan tangan membawa sebuah sepeda motor yang ditunggangi begitu cepat melesat, melaju di jalan penuh lubang yang tak jarang membuat si pengendara dan motornya goyah.

Deru motor picu laju berpikir beradu, dengan banyaknya pikiran yang berbenturan dari hasil adu mulut versus kata hati yang berasumsi. Juga beberapa alibi dari sisi skeptis seorang sinis, dengan cerita hidup yang menurutnya miris. Tapi apa iya kiranya hidup seperti itu dilihat secara artiannya?

Sementara itu selama memikirkan jawabannya, motor terus melaju melesat cepat dengan kecepatan tinggi dan ………………………..……………. ………………..BRAAK..!!!
Setelah itu?
Selesai atau terus?
Sebelum sampai halaman terakhir buku ini habis tak ada yang tahu pasti.

(Bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar