Senin, 30 Juni 2014

AMBIENCE BERISIK PERSETERUAN KUBU CAPRES DI SOSIAL MEDIA

Dave Mustaine dari Megadeth pernah berujar “killing people for football and religion is something i don’t understand”. Sebuah keresahan Dave tentang betapa orang mudah sekali terprovokasi oleh hal yang menurut Dave tidak seharusnya dijadikan dasar atas sebuah permusuhan.

Untuk hal ini agaknya Dave mesti tahu keadaan politik menjelang pemilihan presiden di Indonesia untuk menambahkan “killing people for capres is something i don’t understand”. Bagaimana tidak, ketika saya melihat dua orang teman baik yang saling bertengkar di beranda buku muka dan lini masa burung biru berkicau harus berselisih karena pilihan capresnya yang berbeda.

On the right side, left side, or whatever gimmick itu kemudian dimunculkan dan menjadi sebuah ambience berisik yang saling berteriak dalam keadaan perpolitikan panas belakangan ini. Menjadi satu keadaan yang miris untuk saya pribadi, mengingat kedua orang teman baik itu adalah yang tadinya sama-sama menggemari musik yang sama, tumbuh besar bareng, dan pada akhirnya terpecah dengan perselisihan pilihan capres yang berbeda, yang bahkan tidak ada satupun yang bisa menjamin jika salah satu dari kedua capres ini bisa membuat negara ini jadi lebih baik.

Ingatan saya kembali ke masa ABG saya dimana ketika itu saya berada di kubu Blur ketika Oasis dan Blur berseberangan dalam sebuah perang media yang mengangkat perselisihan dua band raksasa britania tersebut. Atau sama halnya ketika era hip metal mulai diangkat ke permukaan, ketika ada isu menarik antara permusuhan Limp Bizkit dan Slipknot lewat banyaknya propaganda melalui poster yang saling menghujat antara kedua band tersebut. Saya yang memang masih labil ketika itu, menelan mentah isu permusuhan itu menjadi serius dengan menganggap orang yang menggemari Oasis adalah tak lebih dari musuh yang harus saya benci.

Sampai pada akhirnya Noel Gallagher (Oasis) dan Damon Albarn (Blur) berada disatu bar yang sama untuk ngebir bareng, isu permusuhan itu menjadi hal yang lucu untuk saya ketika saya mengingat lagi ke masa itu. Bahkan ketika saya menulis ini, pemutar musik yang menemani saya ngetik sedang memutar lagu Oasis yang secara sadar saya putar dan dengarkan, bahkan saya repeat karena dilagu Oasis yang berjudul “Go Let It Out” itu ada part bass line yang saya suka dan enak didengar. Tidak ada lagi kubu Blur si anak kampus dan Oasis yang mewakili kelas pekerja dalam hal ini. Semuanya atas nama musik yang saya putar di perangkat komputer saya.

Kembali ke lini masa dengan perdebatan panas siapa yang lebih pantas memimpin negeri ini. Apa jadinya ketika 20 tahun yang akan datang Prabowo dan Jokowi ada di bar yang sama untuk ngebir bareng kaya Noel dan Damon tadi, dan keduanya telah melepaskan atribut cupras capresnya itu, lalu menjadi negarawan yang baik untuk mendorong anak muda yang lain memimpin negeri ini. I’m just saying. Hehe. Tapi pasti akan mengundang senyum jika saja itu sampai terjadi, dan banyak diantara kita yang tadinya saling berselisih karena perbedaan capres ini menjadi malu sendiri mengingat apa yang dilakukannya 20 tahun ke belakang. Sama seperti perasaan saya ketika memutar lagu Oasis tadi.

Memilih nomor satu nomor dua, atau memilih untuk tidak memilih adalah hak setiap orang. Memilih untuk berisik di lini masa dan beranda buku muka juga hak. Namun jika semuanya hanya berdasar untuk mencari siapa yang paling benar dan mengharap sang ratu adil turun ke bumi bagi saya kok jatohnya naif ya? Karena menurut saya pribadi memilih pemimpin adalah yang bisa diartikan dalam sebuah ide kepemimpinan (konsep), bukan dengan memilih orang yang diharapkan menjadi sang ratu adil itu tadi. Agak susah untuk saya bisa percaya jika konsep pemerintahan ada dalam artian berpihak untuk rakyatnya, sekeras apapun orang-orang yang berada di dua kubu itu meyakinkan saya jika capres yang mereka dukung berpihak untuk rakyat. Yang paling masuk akal adalah menganggap keduanya sama-sama bekerja untuk sebuah otoritas kepemerintahan yang tentunya dengan berbagai “deal” yang tak jarang merugikan rakyat dengan kebijakan yang diambilnya. Hanya saja mungkin diantaranya ada yang mau dikritisi ada yang tidak.

Memilih menjadi fanatik dari salah satu kubu agaknya menjadi satu kesalahan, yang ditakutkan akan menjadi bumerang yang menyerang balik keyakinannya ketika orang yang didukungnya ternyata mengecewakan. Yang paling masuk akal adalah mendukung (jika memilih untuk mendukung) dan tetap mengkritisi jika saja ada kebijakan yang dirasa tidak atas kepentingan orang banyak (rakyat). Apalagi menjadi fasis dengan menganggap kubu sebelahnya selalu salah dan kubunya lah yang paling benar. Karena seperti apa yang diteriakan Homicide jika “fasis yang baik adalah fasis yang mati”, maka selalu ada celah untuk keduanya bisa salah dan bisa benar.

Well, ini sudah ketiga kalinya saya repeat lagu Oasis tadi, dan sialannya lagunya emang enak. Hehe. Adapun selain itu, selalu ada pilihan tombol mute untuk orang-orang yang kita follow agar tidak terlalu berisik di lini masa belakangan ini. Lewat dari bulan Juli barulah kita unmute lagi dan saling menyapa kembali. Apalagi mengingat di sebulan kedepan sudah masuk suasana lebaran, dan harusnya bisa segera mungkin saling memaafkan satu sama lain. Lagian tidak ada satupun yang harus dimusuhi selain diri sendiri ketika mempunyai rasa benci.

“Don’t hate what you don’t understand, and give peace a chance” – John Lennon




Tidak ada komentar:

Posting Komentar