Rabu, 09 Juli 2014

BEBERAPA JAM SEBELUM PILPRES

Tahun 2014 akan diingat sebagai tahun dimana politik bisa begitu menarik perhatian banyak orang di Indonesia, dibanding pemilu-pemilu sebelumnya yang dilewatkan dengan biasa saja (setidaknya untuk saya). Jika pada pilpres dulu pemenang dari bakal calon presiden telah diketahui/bisa diprediksi bahkan sebelum pemilu berlangsung, maka tidak dengan tahun ini, ketika dua pasangan calon presiden dan wakil presiden begitu sengit untuk sama-sama mengumpulkan suara terbanyak demi mengantarkan mereka jadi orang nomor satu di Indonesia. Bisa dibilang kekuatannya berimbang dan tidak bisa diprediksi siapa yang akan terpilih menjadi presiden Indonesia yang ke tujuh kelak.

Tak terkecuali saya dan adik saya yang juga ikut terbawa euforia pilpres 2014 ini. Dari yang dulunya kami cuma ngomongin serial TV Dragon Ball dan paling banter ngomongin musik atau film, kali ini terbawa juga dalam obrolan tentang pilpres ini. Baru kali ini ada pemilihan presiden yang begitu menarik perhatian saya dan banyak rakyat Indonesia disini, yang bahkan momen pilpres ini terjadi di musim sepak bola piala dunia tahun ini di Brasil, dimana keberadaannya tidak lebih menarik dibanding dengan acara debat capres dan cawapres di televisi.

Kenapa bisa begitu menarik?

Isu yang diangkat ke permukaan tentang latar belakang dua calon presiden ini sangat menarik. Si nomor satu datang dari masa lalu dengan dugaan kasus HAM nya yang menjadi polemik sejak tahun 1998. Sedangkan si nomor dua datang dengan image pembaharuan yang membuka harapan baru bagi banyak orang. Menjadi menarik ketika bagaimana kubu keduanya saling beropini untuk memberikan pernyataan kubunya lah yang paling benar, dan -sayangnya- bagaimana ketika keduanya saling berargumen untuk menjatuhkan kubu lawannya. Tapi menjadi wajar mengingat politik adalah suatu cara untuk meyakinkan orang lain untuk setuju dengan apa yang diyakininya, maka akan selalu ada semacam “perang nalar” yang merayu logika orang untuk bilang “eh bener juga ya” atau “ah ga gitu juga sih”.

Lepas dari saya yang akhirnya menentukan pilihan kepada salah satu pasangan capres cawapres mana, saya lumayan menikmati adu argumen seperti ini (sebagai penonton), dimana setiap harinya selalu ada bacaan yang bisa saya baca untuk kemudian saya ‘singkronkan’ dengan logika saya, sampai kemudian intuisi lah yang menjadi pemenangnya ketika saya harus memilih apa dan siapa. Apakah si nomor 1, 2, atau bahkan memutuskan untuk tidak ikut menjadi bagian dari gelaran pemilihan presiden semacam ini.

Politik menjadi sesuatu yang menarik untuk saya karena adanya adu argumen itu tadi. Saya banyak belajar dari banyaknya bacaan yang saya baca tentang cara logika seseorang (dalam hal ini penulisnya) untuk mencoba meyakinkan saya jika yang saya baca adalah benar adanya, atau justru tidak benar (untuk sebuah artikel sanggahan yang saya baca). Politik menjadi menarik karena dari sanalah saya belajar untuk bisa berpikir matang dan menimang dengan apa yang logika saya serap. Namun ketika banyak juga yang keluar dari koridor etika berpendapat dengan mengeluarkan pendapat yang dangkal seperti “ah gua males milih si anu soalnya mukanya kampungan, atau ah gua milh si anu soalya gagah”. Ganggu sih sebenernya dengan lalu lintas lini masa yang banyak menuliskan tentang alasan kenapa mereka mau dan ga mau memilih si nomor satu atau nomor dua. Tapi mengingat kejadian seperti ini tidak akan berlangsung selamanya, dan memang lagi momennya aja, jadi yaudahlah ya, toh selalu ada pilihan untuk klik tombol block atau mute di setiap akun jejaring sosial yang nyampah seperti itu. Semoga saja yang ditakutkan banyak orang akan adanya perang saudara karena perbedaan pilihan capres ini tidak sampai kejadian. Amin.

Sederhananya seperti ini. Dalam sebuah obrolan anak kecil yang saya lihat tadi siang.

Anak A : “nih lihat nilai ulangan matematika aku dapet 80. Hebat kan?”
Anak B : “ah aku juga ga mau kalah lah, nih lihat nilai bahasa Indonesia aku dapet 90”.

Meskipun si anak sama-sama beradu argumen tentang siapa yang lebih baik, tapi keduanya masih ada dalam artian yang positif, karena “memamerkan” kelebihannya masing-masing. Dengan kata lain kompetisi sehat.

Lain dengan ini :

Anak A : “nih lihat nilai ulangan matematika aku dapet 80. Hebat kan?”
Anak B : “ah paling juga kamu curang, kamu nyontek ya?”

Adu argumen ini tidak lagi dalam artian yang positif karena si B mencoba menjatuhkan si A dengan tuduhan yang belum tentu terbukti kebenarannya.

Nah yang disayangkan dari banyaknya adu argumen tentang pilpres belakangan ini adalah contoh kasus yang kedua, dimana kedua kubu bukannya fokus dengan kelebihan capres pilihannya, tapi malah menjatuhkan dengan mencari kelemahan lawannya. Akhirnya timbulah fitnah sana sini dan saling menghujat, yang sebenarnya cukup menyedihkan mengingat kita semua ada di satu negara yang sama dimana kita makan, minum, dan buang air disini. Lagian orang yang sangat kita bela itu tidak akan selamanya menjadi presiden dan tidak menutup kemungkinan bisa berbuat salah juga. Tapi ya tapi, kalo atas nama politik sih wajar saja. Karena ya kaya yang saya bilang tadi jika politik adalah suatu cara untuk meyakinkan orang lain untuk setuju dengan apa yang diyakininya dengan cara apapun.

Kalo kata Iwan Fals sih politik itu asik ga asik, kaya orang kilik kuping, kalo ga ngilik ga asik. Dalam konteks politik pilpres tahun ini menjadi asik ga asik dengan banyaknya adu kreatifitas dari kedua kubu. Untuk kreatifitas yang positif seperti lewat video, lagu-lagu kampanye, karya foto, gambar dan banyak lagi lainnya, tentu itu sebuah kemajuan ketika banyaknya orang yang bersuka cita menangkap momen pemilu ini menjadi sesuatu yang menyenangkan dengan euforia yang begitu besar. Namun untuk kreatifitas (dalam tanda kutip) yang negatif tentu jadi sebuah kemunduran. Kemunduran dari sebuah nurani yang dipenuhi kebencian dan intrik ingin menjatuhkan. 

Tapi balik lagi (lagi-lagi saya bilang ini) politik dalam artian yang saya yakini adalah tentang cara meyakinkan orang lain untuk setuju dengan apa yang diyakininya, meski dengan segala cara. Jadi kalo melihat kesana semuanya jadi wajar saja. Pengertiannya bisa menjadi politik itu licik atau cerdik. Licik bagi dia yang punya trik ingin menjatuhkan atas nama benci dengan nurani yang terkotori, dan cerdik bagi dia yang ingin menjatuhkan atas nama nurani dan kebenaran yang diyakini. Keduanya sama-sama bertujuan menjatuhkan, hanya dengan niat yang berbeda, tergantung siapa pelakunya dan apa tujuannya.

Beberapa bentuk kreatifitas pada pilpres 2014 ini 
(gambar diambil dari berbagai sumber)

Satu yang pasti adalah tidak ada kebenaran yang hakiki dengan kapasitas mencerna seorang manusia biasa dalam berpikir. Jadi selalu ada celah kebenaran dan kesalahan dalam satu siklus yang dia jalani. Menganggap calon pilihan kita selalu benar dan menjadikannya manusia setengah dewa tentu itu adalah naif. Tapi juga menjadi skeptis dengan berpikir jika keduanya tidak ada yang benar, adalah tidak kalah naif juga. Jadi jika memilih untuk mendukung dan mau terlibat di pilpres ini baiknya dibarengi dengan kritik juga jika sampai calon yang dipilihnya melakukan kesalahan. Jadilah wasit yang baik untuk mengawasi “pertandingan” politik di pilpres ini. Semoga saya juga ga terlalu naif untuk bisa sampai berpikir dan berharap pemilu yang bersih. Hehe.

Politik juga lah yang pada akhirnya yang bisa memenangkan siapa presiden ke tujuh yang akan memimpin Indonesia berikutnya, suka atau tidak suka dengan hasilnya nanti. Tapi yang pasti sih ada satu pertanyaan menggelitik yang ingin saya tanyakan, “apakah jika calonnya yang menang nanti itu adalah sebuah kemenangan dari sebuah kebenaran atau sebuah kemenangan dari sebuah cara politik?”.

Atau mungkin sama dengan serial TV Dragon Ball yang saya dan adik saya gemari dulu. Jika Son Goku melakukan segala cara untuk mengumpulkan bola naga demi keinginannya terkabul oleh sang naga, maka dalam hal ini bola naga itu berbentuk surat suara yang dipilih rakyat. Karena dengan itulah keinginan sang pemimpin bisa terealisasi dan bisa tercapai jika suara yang memilihnya banyak, lebih banyak dari tujuh bola naga yang dikumpulkan Son Goku.

Yang jelas politik tidak lebih menarik dari goyangnya Zaskia Gotik (halah penutup yang aneh). Ngejar rima doang. Hehe.

Dan maha benar Chelsea Islan dengan senyumnya 
Bandung, 9 Juli 2014. Beberapa jam sebelum pilpres berlangsung.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar