Sabtu, 15 Februari 2025

KOIL: DONGENG YANG TAK LEKANG OLEH WAKTU

Tahun 90an awal ranah kreatif di Bandung menunjukan tren positif melalui bermunculannya band-band anak muda yang menawarkan ragam keunikan lewat musiknya. Dari sekian yang muncul ke permukaan, ada sebuah band yang terbilang unik dan mungkin bisa dibilang lebih maju melampaui zamannya, lewat semua olahan musik dan personanya. Band tersebut adalah Koil. Uniknya band ini tidak berasal dari kantung tongkrongan yang biasa diidentikan dengan pergerakan musisi Bandung pada saat itu, seperti misalnya kawasan Ujung Berung dengan metal-nya, atau tongkrongan Jalan Purnawarman dengan musik alternatif-nya. 

Koil seakan datang dari antah berantah dengan musik dan lirik yang pada saat itu terbilang anomali. Terlebih kala mereka merilis album Megaloblast (yang pada tahun ini berusia 24 tahun, sejak pertama kali dirilis tahun 2001 lalu). ‘Dongeng’ yang mereka hadirkan ke permukaan menjadi salah satu yang paling mencuri perhatian, sampai akhirnya berpuluh tahun kemudian, apa yang mereka mainkan masih relevan dan tetap mampu menarik perhatian.

Tak terkecuali dengan apa yang mereka hadirkan di acara Koil Mendongeng Part 1, yang digelar di De Majestic, Bandung, pada hari Jumat, 14 Februari 2025. Sebuah pertunjukan yang menampilkan sisi lain dari Koil—tetap bertenaga, tetap berkarakter, tetapi dengan pendekatan yang berbeda.

Malam itu, Koil membawakan musik mereka dalam format akustik, disertai bebunyian string section dari Anime Orchestra yang memperkaya atmosfer pertunjukan. Aransemen yang mereka suguhkan terdengar tebal, kaya, dan kokoh, meski tentu saja, dalam sebuah pertunjukan langsung, kesalahan kecil tak terhindarkan, tetapi itu sama sekali tidak mengurangi kekaguman penonton terhadap energi yang mereka tampilkan. Sejumlah lagu hits Koil dibawakan pada konsernya malam itu, dari mulai lagu-lagu di album Self-titled (Koil), Megaloblast, Blacklight Shines On, hingga lagu mereka yang cukup baru berjudul "Sorak Bergembira". Buat saya pribadi, lagu "Semoga Kau Sembuh Part 2" menjadi yang paling pas dibawakan dengan format semacam ini, serta satu lagu berjudul "Waktu yang Berhenti" yang diakui Doni merupakan sebuah lagu yang sangat jarang di bawakan di atas panggung, sejak mereka merilis album pertamanya tahun 1996 lalu

Dari segi olah suara, sesi ritmis malam itu cukup mencuri perhatian (setidaknya untuk saya). Leon dan Adam tampil solid, dengan permainan yang mendentum dan bertenaga, memberikan pondasi kuat pada keseluruhan pertunjukan. Sementara itu, suara-suara dari string section menambahkan nuansa yang lebih dramatis, membuat setiap lagu yang dibawakan terasa lebih megah.

Namun, bukan hanya musik yang menjadi daya tarik malam itu. Di sela-sela lagu, para personel Koil menyelipkan cerita-cerita dan membawakan ‘dongeng’ dalam gaya mereka sendiri. Menarik menyimak cerita mereka, meski beberapa (untuk yang memang menggemari Koil) sudah pernah mendengar ceritanya. Namun ada satu hal yang menjadi cetak tebal dalam cerita mereka malam itu, yakni tentang perjuangan dan jatuh bangun mendirikan Koil selama lebih kurang 30 tahun sampai hari ini. Ada banyak lika liku menarik yang mereka alami, dari mulai runtuhnya God.inc, dicurangi mantan gitarisnya, fakta unik kala manggung, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk tetap bermusik hingga hari ini. 

Uniknya lagi, malam itu Koil mengenakan kostum/pakaian adat Jawa Barat/Sunda yang mereka akui sebagai bentuk penghormatan terhadap tanah pasundan yang menjadi tempat mereka tumbuh dan berkembang. Menggaris bawahi tentang kostum, agaknya hal tersebut telah menjadi kekhasan dari band ini. Stage act, kostum, gimik mereka di atas panggung menjadi paket lengkap setiap kali Koil tampil. Pada penampilan mereka sebelumnya di sebuah festival musik yang cukup besar, Koil bahkan mengenakan kostum vampir cina, dan banyak lagi keunikan lainnya. Agaknya bagi mereka, olah kreasi musiknya yang seru belum lengkap jika tidak diimbangi pula oleh tata kostum di atas panggung yang tak kalah seru. 

Sesi mendongeng yang kemudian diteruskan dengan perayaan kecil 24 tahun album ‘Megaloblast’


Malam itu, beberapa orang yang menjadi saksi perjalanan bermusik Koil pun nampak hadir dan memberi dukungannya, dari mulai keluarga sampai rekan musisi ‘seangkatan’ mereka, seperti misalnya Baruz dari band Balcony dan Godless Symptoms. Menanggapi konser Koil kali ini Baruz menanggapinya dengan menggaris bawahi album Megaloblast yang malam hari itu tepat berusia 24 tahun. Bagi Baruz, dirinya selalu takjub dan merinding setiap menyaksikan Koil di atas panggung, karena menurutnya selalu ada hal menarik yang bisa disaksikan.

“Pasti ada yang menarik untuk disaksikan. Salah satunya pegelaran ini, terlihat dari kostum yang mereka kenakan, tampil dengan set akustik, penambahan orchestra dan keyboard, juga dimana ada babak yang diperuntukkan untuk mendongeng tentang bagaimana mereka melewati proses-proses dari bermain band, rekaman, merilis secara DIY, dealing dengan records label mainstream, dikhianati, jatuh terpuruk, terseok seok, dan tetap survive sampai hari ini”, ujar Baruz.

Koil Mendongeng Part 1 bukan sekadar pertunjukan musik; ini adalah pengalaman. Sebuah malam di mana Koil mengajak penonton untuk masuk lebih dalam ke dalam dunia mereka, bukan hanya lewat suara, tetapi juga melalui cerita dan interaksi yang hangat. Dan jika bagian pertama saja sudah seistimewa ini, maka bagian keduanya jelas layak untuk dinantikan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar