Kamis, 07 Februari 2013

FROM FORM TO MORE FONT

Ga tahan juga akhirnya buat ga nulis disini. Entahlah bagaimana nasib blog ini kedepannya. Apa akan jadi blog curhat yang tak lagi berisi artikel-artikel musik yang saya buat untuk beberapa zine/webzine lokal disini?. Entahlah, mungkin karena dunia jurnalistik sudah tidak semenarik seperti yang saya bayangkan dulu. Jadi akhirnya nulis ya nulis aja. Mau bagus atau tidak yang penting ketika memang ada yang harus ditulis ya tulis aja.

Seminggu terakhir kayaknya memang lagi ga ok. Hati juga ga beres dengan ditegaskan oleh kenyataan jika tensi darah naik, dan berakibat pada jantung yang dipompa darah terlalu cepat, sehingga mengakibatkan tidak tenang, pikiran melayang, dan sialnya malah jadi susah tidur.

Kaya gini terus saja berulang. Susah memang untuk tidak menjadi anti sosial, ketika kenyataan itu terasa menyebalkan dengan paradigma yang dilencengkan dari apa itu nilai makna ketulusan dan kejujuran. Ketika kini sosialisasi dicukupkan dengan sebuah layar kecil, dengan banyaknya ambiguitas yang memancing untuk bergunjing dan salah tafsir. Semuanya bertopeng atas nama pencitraan dan saling menipu untuk menyelamatkan dirinya, betapa dia selalu benar dan tidak pernah salah. Nilai prestisius busuk dari apa yang tertuliskan tentang “halo nama gua anu, gua temennya anu, gua bisa anu, gua punya anu, selera gua anu, gua keren lah pokoknya”. Apa memang yang bisa disombongkan, jika nyatanya hanya mendompleng dan tidak berdiri di kaki sendiri.

Mencari pembenaran dari apa itu pembiasan yang dibilurkan. Ah manusia selalu begitu. Selalu saja membenarkan apa yang salah. Kapasitas yang diserap pemahaman yang diolah seadanya, tanpa berpihak pada nurani, yang seolah dibiarkan dengan kerinduan ingin disentuh si pemilik hati. Sudah terlalu lama dia dibiarkan berharap dengan pertanyaan, “apa memang masih ada orang yang mau menyentuh nurani?” Kebohongan, trik licik, dari apa yang diterjemahkan melalui kiasan indah nan menjerat hati yang tulus, namun malah diperlakukan seperti seolah tak punya hati dan benda mati. Ah apa iya orang baik itu selalu tak punya tempat disini? Di realita yang busuknya melebihi bau busuk kotoran manusia yang dibuang setiap harinya.

Saya hampir tidak percaya jika memang masih ada orang baik yang berpihak pada nuraninya. Apa memang saya harus percaya jika memang sudah tidak ada lagi orang yang mau berpihak pada nuraninya? Semuanya berpihak kepada egonya, kepada hasrat dan nafsu yang sesaat. Kurang bersyukur, mengeluh dengan keadaan, yang sebenernya pikir lagi deh, apa memang yang bisa dikufuri?

Tuhan sudah sangat teramat baik kepada siapapun hambanya. Sangat baik, sehingga kata sangat pun menjadi terlalu dangkal sebagai padanan kata dan kalimat yang tepat untuk bisa menjelaskan betapa Tuhan itu baik.

Agak sedikit emosional memang jika berbicara Tuhan. Karena menyedihkan ketika seseorang diberi hati dan nurani oleh Tuhan, tapi dia tidak memakai itu. Akhirnya ya bohong, nipu, menyakiti hati orang lain, dan melakukan segala cara untuk memenuhi hasratnya. Seolah tidak menghiraukan apa yang sudah dikasih tahu Tuhan tentang bagaimana caranya menggunakan nurani. Lucunya, ketika saya bertanya tentang kemana perginya nurani, malah saya yang dianggap terlalu naif, jika masih berharap ada orang baik yang masih bisa pake nurani nya. Seperti hidup itu adalah sebuah komedi sarkastik dari terminologi kelirumologi-nya mas Jaya Suprana. Semua hal ditertawakan, meskipun bukan bahan tertawaan.

Sebenernya saya sangat tidak mau menyalahkan orang lain atas apa yang dilakukannya kepada saya. Karena ya hukum sebab akibat itu berlaku. Ketika seseorang memukul, maka di lain hari pasti dia yang akan dipukul. Ketika seseorang memberi, maka di lain hari dia yang akan diberi. Siklus dan perputaran. Secara alamiahnya pasti begitu. Selalu ada akibat dari apa yang diperbuat. Namun juga selalu ada perenungan dan pembelajaran, ketika apa yang didapat begitu menyentak hati dan diri yang kemudian malu dengan kesalahan yang diperbuat, sehingga membuatnya menjadi tersentak sadar. Semoga sih masih bisa ambil pelajaran dari semua kesalahan. Pun begitu dengan saya yang banyak salah ini. Banyak sekali. Sangat banyak.

Entahlah sampai kapan saya jadi ‘ansos’seperti ini. Entahlah sampai kapan saya bisa berhenti berpikir dengan keraguan betapa orang yang tulus itu sulit dicari. Dengan realita yang busuk, haha hehe yang membingungkan, dengan banyaknya kebohongan dan topeng yang bertebaran. Entahlah. Apa saya harus berdamai dengan kenyataan? Atau lari dan pergi ke dunia saya sendiri?

Hampir 140 halaman saya tulis coretan ga penting saya di buku RUBIK, yang bercerita tentang semua keresahan betapa saya menjadi terasing di lingkungan saya sendiri. Sampai tulisan ini dibuat, dan buku rubik itu sendiri akhirnya bisa publish dan terjual, agaknya perasaan seperti itu masih belum banyak berubah. Semuanya masih saja terasa begitu sepi dengan terdeskreditkannya saya di banyak pasang mata yang memandang.

“Teu kitu sih sabenerna mah wenk” (ga gitu sih sebenernya wenk), kata teman baik saya yang mencoba meyakinkan saya, jika nyatanya masih ada dia yang masih peduli dan baik kepada saya. Tapi jika bukan ibu saya sih, kiranya sedikit saja kesalahan yang dibuat, agaknya selalu susah untuk dimaafkan oleh orang sekitar. Ya orang kan biasanya seperti itu. Sebesar apapun kebaikan yang dibuat, akan hilang begitu saja dengan satu kesalahan sekecil apapun. Lebih seneng liat jeleknya daripada liat bagusnya. “eta sih lur nu nyieun urang ragu” (itu sih yang bikin saya ragu), kata saya kepada teman saya, yang dengan berakhirnya kalimat itu, saya memutuskan ngambil helm dan beranjak pulang dengan si putih motor saya, yang setia menemani saya menangkap makna dari apa yang saya lihat di jalan setiap harinya ketika bersamanya. Bagaimana ketika bunyi klakson mobil yang dengan begitu angkuhnya menyuruh minggir pengendara sepeda tua, yang juga dikayuh seorang tua, yang sepertinya sepulang dari mencari nafkah untuk anaknya. Bagaimana ketika dengan seenaknya sepeda motor melaju kencang di trotoar jalan, yang mengambil haknya para pejalan kaki. Atau ketika banyaknya orang yang memaki karena macet, panas, debu yang bercampur dengan peluh.

Aaargh yang terakhir itu saya menceritakan diri saya sendiri, ketika saya sering ngeluh di jalan karena macet. Malu sendiri jadinya. Semoga semua jadi lebih baik. Jalan yang lebih baik, penguasaan kontrol emosi yang lebih baik, dan hati yang lebih baik.

“Geus sore lur, urang balik heula nya. Nuhun lur”

Dimuat juga di blog republika online. Baca disini 


Blog Republika Online

1 komentar:

  1. jangan pernah kehilangan FAITH sama kebaikan...bakal ada pasti...ini bukan masalah masih ada atau ngga...tapi masih mau atau ngganya orang2 buat melakukan sesuatunya dengan nurani...keep FAITH..
    ah saya malu gabisa ngerangkai kata dengan baik..maaf ya :D

    BalasHapus