Rabu, 28 Agustus 2013

[BUKAN] REVIEW KONSER METALLICA

Euforia konser Metallica kemarin masih terasa, bahkan oleh saya yang bukan penggemar Metallica sekalipun. Saya hanya tahu lagu-lagu Metallica hanya dalam hitungan jari saja. Tapi membaca sebuah tulisan dari seseorang yang entah siapa, tentang konser Metallica kemarin, membuat saya tertarik untuk pada akhirnya menulis ini. Kurang lebih tulisannya seperti ini. “konser metal yang sering dituduh musik setan, berjalan damai dan membahagiakan banyak orang. Acara ‘keagamaan’ malah menyebar kebencian dan meresahkan” (dalam hal ini, konser Metallica kemarin berbarengan dengan acara milad/ulang tahun ormas FPI di Jakarta).

Ga tahu kenapa tulisan itu membuat saya jadi berpikir tentang banyaknya kenyataan yang terbalik dari apa yang biasanya orang citrakan atau paradigmakan tentang sesuatu. Ketika musik dijadikan kambing hitam atas kerusuhan, ketika agama dijadikan sebagai alat untuk menebar kebencian, ketika nasionalisme semu yang sering diperagakan, dan banyak lagi lainnya.

Saya bukan seorang yang agamis, juga bukan seorang nasionalis. Saya beribadah kepada Tuhan saya karena saya merasa harus berterima kasih kepada Tuhan saya atas semua kebaikan yang Dia kasih, dan menjadi aneh jika sesuatu yang personal itu harus dipropagandakan kepada banyak orang tentang sebuah nilai ketuhanan yang barbar dengan menjual agama. Seperti kata Goenawan Mohamad ketika dia bilang seperti ini, “Tuhan yang sangat dekat dengan kita, mana mungkin membutuhkan teriakan yang begitu keras”. Juga tentang nasionalis yang entah kemana arahnya dengan membenci negara lain, bahkan yang tidak ada hubungannya seperti sepak bola atau hal remeh lainnya, yang pada akhirnya negara A menjadi sangat membenci negara B. Ini aneh buat saya.

Seseorang yang katanya anti Amerika malah pawai keliling kota dengan mobil buatan Amerika, seseorang yang katanya agamis malah tidak menunjukan jika dia beragama. Terasa dangkal ketika seseorang beragama bukan dari esensinya, melainkan dari tradisi dan budaya. Pun begitu dengan nasionalis yang diperagakan dengan marah-marah tidak karuan ketika seni tradisi negaranya dicuri, yang padahal dia sendiripun enggan mempelajari seni tradisi negaranya sendiri. Yang sebenarnya musisi malah dianggap memainkan musik yang aneh, yang jelas-jelas dia jualan musik, malah dianugerahi musisi terbaik. Yang mencari popularitas dengan sensasi murahan, malah kebingungan menghabiskan uang dari hasil dia tampil di berbagai acara gossip murahan. Sekali lagi ini aneh buat saya. Semuanya terasa barbar dan hambar.

Ketika sebuah negara dipimpin oleh orang yang tidak berbuat untuk negaranya, ketika apa yang diperjuangkan hanya untuk sebuah golongan saja, ketika semua orang menuhankan egonya. Apa sebenarnya maksud dari semuanya ini. Kalau kata Koil sih “ini negara bodoh yang sangat aku bela”. Dan ditegaskan dengan “aku bukan bagian dari kebanggaan yang membuat kita tak berpenghasilan”, pada lagu kenyataan dalam dunia fantasi, tentang “nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan”. Sialan Otong, dia orang paling nyebelin, sekaligus paling jenius mengartikan negara ini.

Kembali ke Metallica, kembali ke musik, dan kembali ke Seringai dengan Arian 13 sebagai frontman di band itu. 20 tahun yang lalu dia gagal nonton konser Metallica, karena diusir aparat pada waktu itu. Dia dipukul, ditendang oleh aparat karena dituduh sebagai perusuh. Sekarang ketika semuanya telah berlalu, ketika pada akhirnya dia bukan hanya bisa nonton konser Metallica saja, melainkan band-nya Seringai malah jadi pembuka untuk konser Metallica tersebut. Ini di luar ekspektasi dia sebelumnya. Jadi teringat akan pepatah generic yang bilang “jika sudah waktunya, semua bisa saja. Asal kita pantas dengan apa yang ingin kita dapatkan”. Dan Arian, apakah dia sudah pantas mendapat hadiah sedemikian besar, sampai dia bisa nongkrong bareng personil Metallica di backstage itu? Jawabannya YA. Ya dengan huruf besar, karena meskipun saya tidak kenal secara personal dengan dia, tapi saya tahu dia dari jamannya dia masih di Puppen. Salah satu band pelopor pergerakan musik independen di Indonesia, yang sedikit banyak berpengaruh dalam kehidupan ABG saya dulu

Dari awal dimulainya pergerakan ini sampai sekarang, dia tetap konsisten dengan sikap dia untuk bisa mandiri dan saling support kepada para pelaku musik yang muak dengan berbagai macam bentuk manipulasi industri yang bermusik bukan untuk musik, tapi untuk pasar dan uang. Dia tidak sungkan untuk membantu sesama band yang dirasa punya perjuangan yang sama, atau dalam konteks sederhananya, dia merasakan susahnya menghidupkan band tidak atas bantuan industri yang besar. Maka dari itu dia selalu ada membantu sesama teman musisi untuk bisa sama-sama survive di musik.

Dari jamannya dia membantu mengenalkan Pure Saturday, Mocca, sampai sekarang, ketika dia berkesempatan membuka panggung Metallica, dia dan band-nya tak sungkan berbagi panggung juga dengan personil band local lainnya seperti Eben dari Burgerkill, Adjie Down For Life, dan Stevie dari Dead Squad, untuk featuring dengan Seringai. Sampai ketika melihat percakapan dia dengan salah satu temannya yang bilang jika dia ingin tak hanya dia dan band-nya Seringai saja yang bisa merasakan bagaimana rasanya berjarak begitu dekat dengan para personil Metallica itu seperti apa, dan oleh karenanya dia juga ingin membagi kesenangannya itu. Bahkan jika kita mengikuti Seringai dalam jejaring sosial mereka, mereka selalu ikut membantu mengenalkan band-band lainnya yang mereka pikir potensial dan layak untuk diangkat. Tak hanya yang satu genre dengan mereka saja, tapi semua genre musik juga. Semua begitu indah dengan saling support dan mendukung agar pergerakan musik ‘bawah tanah’ ini tetap ada, dan mengembalikan musik ke akarnya. Yaitu musik untuk musik. Untuk passion.

Kenapa ini menjadi ada kaitannya dengan dia dan band-nya Seringai, sebagai band pembuka konser Metallica itu? “Karena apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai”. Entahlah, apa karena saya terlalu terbawa suasana atau kenapa, sampai saya merasa ikut terharu dengan apa yang mungkin Arian dan teman-teman band-nya rasakan. Saya pikir kebaikan dia selama ini yang konsisten membantu sesama teman-teman musisi lainnya untuk bisa survive di musik, itu yang membuat semesta memberikan karma yang baik untuk dia. Suatu keberuntungan yang ditabung selama 20 tahun oleh semesta, yang sekalinya diturunkan dan “Boom”, melebihi ekspektasi siapapun yang berharap tentang sesuatu. So, he deserve for that. Respect !!

Oh iya satu lagi. Satu kesamaan antara saya dan Arian, meski ini konteksnya sudah tidak ada hubungannya dengan musik. Tapi saya jadikan penutup untuk tulisan ngalor ngidul ini. Saya sama seperti Arian dan mungkin personil Seringai lainnya, bahkan banyak orang juga. Saya adalah yang kontra dengan PKS, FPI, dan siapapun yang menjual agama untuk propaganda sebagai alat saling membenci. Jika dengan musik semua orang bisa bersatu dan merasakan kedamaian, mungkin saya akan memilih musik sebagai agama saya.

Senyum, simpul, dan tertawakan. Maaf banyak yang salah dalam penulisan, pemahaman, dan apapun yang pada akhirnya tulisan ini bisa terbaca. Peace.

Graciaz brigh

Metallica say hi to Jakarta, Indonesia

Seringai @aparatmati & @sammybramantyo Photo by @climax_phouse


Tidak ada komentar:

Posting Komentar